Desak Audit Lingkungan dan Moratorium Tambang di Pesisir Palu-Donggala

Share This Article
Palu, 7 Agustus 2024— Bencana ekologis menjadi ancaman serius bagi masyarakat yang tinggal di sekitar tambang galian C di wilayah pesisir Palu-Donggala. Curah hujan yang tinggi telah menyebabkan banjir bandang di beberapa titik, dengan dampak yang paling parah terjadi pada Rabu, 7 Agustus 2024.
Banjir tersebut telah menjadi fenomena berulang yang menyebabkan ruas jalan Palu-Donggala tertutup material berupa batu kerikil dan lumpur. Kondisi ini sangat mengganggu pengguna jalan, baik roda dua maupun roda empat, yang berisiko tinggi mengalami kecelakaan.
Dalam kurun dua bulan terakhir, banjir telah terjadi dua kali, merugikan masyarakat setempat serta pengguna jalan yang melintas di wilayah pesisir Palu-Donggala. Banjir ini disebabkan oleh aktivitas pertambangan galian C yang masif di bagian hulu tanpa mempertimbangkan daya tampung dan daya dukung lingkungan.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sulawesi Tengah menilai bahwa hasil pertemuan Pemerintah Kota Palu, Balai Pelaksana Jalan Nasional (BPJN), dan para pengusaha tambang galian C pada 1 Juli 2024 di Ruang Bantaya, Kantor Wali Kota Palu, yang menyepakati beberapa keputusan, termasuk pemeliharaan infrastruktur jalan dan pengendalian kerusakan lingkungan, tidak ditangani dengan serius. Hal ini dibuktikan dengan masih terjadinya banjir parah setiap kali musim penghujan datang. “Ini menunjukkan ketidakseriusan dalam menangani daya kerusakan lingkungan yang sudah berlangsung lama,” tegas Wandi Pangkapanye dari WALHI Sulteng.
Wandi juga menambahkan, “Kami mendesak Gubernur dan Wali Kota untuk serius menangani aktivitas pertambangan di sepanjang pesisir Palu-Donggala. Sepertinya ada pembiaran terkait hal ini. Keuntungan dari penjualan material ke IKN telah mencapai triliunan rupiah, namun Kota Palu yang bangga dengan penghargaan Adipura justru di sisi lain menghadapi kerusakan lingkungan, bencana ekologis, dan peningkatan jumlah penderita ISPA di Kelurahan Buluri dan Watusampu akibat aktivitas galian C.”
Selain itu, Jaringan Advokasi Tambang Sulawesi Tengah (JATAM SULTENG) menambahkan bahwa Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah, Pemerintah Kota Palu, dan Kabupaten Donggala harus serius mengevaluasi seluruh kegiatan pertambangan yang ada di sepanjang wilayah pesisir Palu-Donggala. Wilayah tersebut diduga merupakan kawasan rawan bencana yang telah ditetapkan melalui PERDA RTRW Kota Palu dan Kabupaten Donggala. Aktivitas pertambangan pasir dan batuan berpotensi mempercepat dampak bencana di wilayah pesisir tersebut.
JATAM SULTENG juga menemukan bahwa setidaknya 72 Izin Usaha Pertambangan telah diterbitkan, baik yang berstatus operasi produksi maupun pencadangan. Izin-izin ini berpotensi mengakibatkan krisis ekologi di wilayah pesisir Palu-Donggala. Oleh karena itu, JATAM SULTENG mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dengan melakukan audit lingkungan terkait daya tampung dan daya dukung lingkungan di sepanjang pesisir Palu-Donggala, serta melakukan moratorium pemberian Izin Usaha Pertambangan untuk mencegah kerusakan yang lebih parah.