Menjaga Warisan Tak Tertulis Suku Dayak Hibun di Hutan Adat Teringkang
Hutan Adat Teringkang Menunggu Pengakuan Regulasi untuk Perlindungan

Share This Article
SANGGAU – Metroluwuk Keberadaan Hutan Adat Teringkang di Dusun Seberuak, Desa Gunam, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menjadi cermin kearifan nenek moyang Suku Dayak Hibun yang diwariskan secara turun temurun. Sejak dulu, hutan ini tidak hanya dijaga sebagai ruang hijau, tapi juga sebagai tempat yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan spiritual.
Pemeliharaan hutan adat bukanlah perkara sederhana bagi masyarakat Desa Gunam. Mereka memegang teguh keyakinan bahwa hutan tersebut dihuni oleh mahluk tak kasat mata yang disebut Bunyik, suatu kepercayaan yang turun-temurun di kalangan warga setempat.
Dalam kehidupan sehari-hari, meskipun mayoritas penduduk desa adalah petani sawit, tradisi menanam padi tetap dijunjung tinggi. Hal ini menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Suku Dayak Hibun, tidak hanya sebagai upaya memenuhi kebutuhan harian, tapi juga sebagai perwujudan dari kearifan lokal yang menjunjung tinggi keberlangsungan budaya.
Ketua Penjaga Hutan Adat Teringkang, Marno BY. IG, menegaskan bahwa walaupun aturan-aturan adat tidak terdokumentasi secara tertulis, namun kaya maknanya telah diwariskan melalui lisan pemuka adat dari generasi ke generasi. Aturan ini menjadi landasan kuat bagi berbagai aktivitas dalam masyarakat, mulai dari penentuan waktu panen hingga adegan dalam sastra lisan pada ritual adat di desa.
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi saat ini adalah sulitnya generasi muda untuk memahami dan mempertahankan kearifan lokal ini. Meskipun demikian, Hutan Adat Teringkang, yang meliputi area seluas 22 hektar, tetap menjadi saksi bisu perjalanan panjang Suku Dayak Hibun. Peraturan adat yang melarang menebang pohon dan aktivitas lainnya di dalam hutan tidaklah sekadar norma, melainkan kunci bagi keseimbangan ekosistem dan kesejahteraan spiritual.
Adat yang dipegang teguh oleh masyarakat Desa Gunam tidak hanya terbatas pada upacara ritual, melainkan juga menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mempraktikkan penghormatan pada roh leluhur melalui ritual dan persembahan kepada patung ‘pedagi’ yang dipercaya sebagai penjaga wilayah.
Dalam konteks pertanian, keberlanjutan budaya gotong royong menjadi salah satu pilar utama dalam menjaga keberlangsungan. Mereka menemukan solusi terhadap tantangan yang muncul, menjunjung tinggi kerjasama dan perlindungan terhadap alam.
Meskipun sekitar Desa Gunam mengalami perubahan, termasuk transformasi kawasan hutan menjadi perkebunan, hutan adat Teringkang tetap teguh. Meski demikian, perlunya pengaturan yang jelas dari pemerintah menjadi suatu hal yang dinantikan untuk melindungi hutan adat dan lingkungan sekitarnya.
Keberadaan Hutan Adat Teringkang menjadi contoh hidup bahwa menjaga warisan tak tertulis Suku Dayak Hibun bukan hanya untuk masa lalu, tapi juga menjadi jembatan untuk masa depan yang lestari, di mana kearifan lokal dan harmoni dengan alam tetap menjadi landasan utama.

Ladang Sawit dan Tradisi Pertanian: Jejak Hidup di Desa Gunam
Desa Gunam, penduduknya bedasarkan Data Statistik Provinsi Kalimantan Barat menunjukan dengan angka 867 jiwa, yang mayoritas penduduknya merupakan petani sawit, ini menunjukan harmoni antara ladang sawit dan pertanian, khususnya di kalangan orang Dayak. Meski sawit menjadi mata pencaharian utaman, tradisi menanam padi tetap dijaga sebagian integral dari kehidupan sehari-hari.
Bagi masyarakat Dayak, menanam padi bukan hanya sekadar memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, tapi juga memiliki nilai-nilai ritual dan adat. Beberapa jenis beras, seperti beras ketan putih, ditanam khusus untuk persembahan ke pedagi, sementara jenis padi lainnya ditanam sesuai dengan kebutuhan ritual adat.
Ines, salah satu penduduk Desa Gunam, menjelaskan bahwa jenis padi yang ditanam bervariasi tergantung pada tipe sawah, baik basah maupun kering. Padi ketan, misalnya, memiliki dua jenis utama: padi lobok atau padi payak, dan padi dois. Sementara padi biasa memiliki nama-nama unik seperti padi cantik, ntabai, serawai, angkong, lop, kahata, atau padi selasih dengan bulir merah.
Namun, tantangan muncul seiring berkurangnya minat generasi muda terhadap pertanian tradisional. Desa Gunam yang berdekatan dengan perusahaan sawit menghadapi risiko kehilangan pengetahuan dan keterampilan bertani dari generasi ke generasi.
Kepala Desa Gunam
Agus Pria Santoso, Plt Kepala Desa Gunam, menegaskan bahwa meskipun mayoritas warga Desa Gunam menjadi petani sawit, sebagian besar dari mereka masih menyisakan lahan untuk ladang. Selain itu, lahan tembawang (kebun buah) dan hutan bawas (hutan untuk pemukiman dan makanan) tetap terjaga.
Perlindungan terhadap ekosistem juga tercermin dalam cara berburu dan penggunaan racun. Jerat lebih sering digunakan daripada racun, dan di sungai, penggunaan racun dianggap tabu. Menurut Agus, upaya ini merupakan bentuk perlindungan masyarakat untuk menjaga ekosistem, dan petani sawit di sini tidak dapat disalahkan sebagai penyumbang deforestasi.

SPKS Sanggau
Dalam konteks pelestarian hutan adat, Serikat Petani Kepala Sawit Sanggau Valens Andi tengah menginventarisir hutan-hutan adat di desa-desa yang memiliki kebun sawit rakyat. Hutan-hutan ini, meskipun berada di areal non-hutan, memiliki peran penting dalam memastikan keberlanjutan sumber daya alam dan ekonomi masyarakat setempat.
google.com, pub-9624996611754396, DIRECT, f08c47fec0942fa0
Dengan adanya instrumen-instrumen baru untuk masyarakat awam, termasuk pendampingan dalam pengukuran hutan, tata guna lahan, dan inventarisasi satwa serta tumbuhan, masyarakat adat dapat lebih efektif mengelola hutan mereka.
Pentingnya dukungan dari pemerintah dan organisasi masyarakat sipil dalam mendorong penetapan hutan adat menjadi kunci utama untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan manfaat ekonomi dari hasil hutan non kayu.
Meskipun demikian, perlunya pendampingan yang memperhatikan skala kebutuhan nilai tambah ekonomi masyarakat agar tidak memaksa transformasi yang tidak sesuai dengan tatanan hidup mereka.
Desa Gunam dan sejumlah desa sekitarnya menjadi perwakilan dari kompleksitas perubahan sosial dan ekonomi di kawasan pedesaan yang mengandalkan pertanian dan perkebunan sawit.
Di tengah perubahan ini, menjaga keseimbangan antara mata pencaharian modern dan tradisi lokal menjadi tantangan yang perlu diatasi untuk memastikan keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Penetapan Harga TBS Sawit di Kalimantan Barat Periode III November 2023: Stabilitas Indeks K Namun Terjadi Fluktuasi Harga
Kepala Dinas Perkebunan dan Pertenakan (Disbunak) Provinsi Kalimantan Barat, Heronimus Hero, mengatakan penetapan terbaru terkait Indeks K dan harga Tandan Buah Segar (TBS) untuk periode III November 2023. Meskipun Indeks K tetap stabil di angka 90,17%, perhitungan ini menunjukkan variasi harga yang signifikan.
Crude Palm Oil (CPO) pada periode ini mengalami kenaikan signifikan sebesar Rp. 40,97/Kg, mencapai angka Rp. 10.818,62/Kg. Sementara harga Palm Kernel (PK) mengalami penurunan tajam menjadi Rp. 4.976,43/Kg, turun sebesar Rp. 134,50/Kg dari periode sebelumnya.
Rata-rata harga TBS pada periode ini naik menjadi Rp. 2.202,91/Kg, meningkat sebesar Rp. 1,62/Kg. Terdapat kenaikan harga pada TBS dengan umur antara 10 hingga 20 tahun yang mencapai Rp. 2.322,83/Kg, naik sebesar Rp. 1,76/Kg dari periode sebelumnya. Sementara harga terendah pada umur 3 tahun juga mengalami kenaikan menjadi Rp. 1.731,09/Kg, naik sebesar Rp. 1,04/Kg.
Penetapan harga TBS didasarkan pada perhitungan rata-rata kontrak penjualan CPO dan PK (FOB Kalbar Exc PPN) pada rentang 8 hingga 15 November 2023. Harga referensi CPO pada tender KPBN FOB Kalbar rata-rata sekitar Rp. 10.850/Kg. Meskipun realisasi volume kontrak penjualan CPO mencapai 75% pada tanggal 10 hingga 14 November, harga tender CPO pada KPBN Belawan/Dumai cenderung lebih tinggi, mencapai sekitar Rp. 11.300/Kg dibandingkan dengan FOB Kalbar yang berkisar Rp. 10.900/Kg.
Proses penetapan harga TBS dilakukan sebanyak 4 kali dalam 1 bulan, sesuai dengan ketentuan Pergub 86 Tahun 2022. Hal ini menunjukkan komitmen untuk menjaga transparansi dan keadilan dalam perdagangan CPO di Provinsi Kalimantan Barat.
Dalam konteks perubahan besar dalam industri kelapa sawit Indonesia, Heronimus Hero, Kadis Perkebunan dan Pertenakan Provinsi Kalimantan Barat, mengapresiasi langkah bersejarah peresmian bursa berjangka crude palm oil (CPO) yang dilakukan oleh Menteri Perdagangan RI Zulkifli Hasan pada 13 Oktober 2023.
Peresmian bursa CPO dianggap sebagai langkah krusial dalam meningkatkan tata kelola perdagangan CPO. Hero menyatakan, “Peresmian bursa CPO menjadikan Indonesia memiliki bursa sendiri, membebaskan negara ini dari ketergantungan pada harga acuan sawit dari Malaysia dan Rotterdam yang telah terjadi selama ini.
Walhi Kalbar Menyoroti Kasak Kusuk Sawit di Sanggau
Menyoroti hal itu, pendekatan adat dalam menjaga hutan juga diterapkan di daerah-daerah lain seperti hulu Sungai Melawi, Ketapang, Sintang, dan Kapuas Hulu.
Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat, menyebutkan luas hutan yang rusak itu setara dengan dua kali luas lapangan sepak bola per jam. Secara khusus, total luas penambahan kebun sawit di Kabupaten Sanggau pada tahun 1990-2013 sebesar 118,252 ha, yang diperoleh dari pembukaan lahan hutan sekunder sebesar 6,793 ha pada tanah gambut dan 1,865 ha pada tanah mineral, sedangkan dari lahan non-hutan sebesar 10,136 ha pada tanah gambut dan 99,458 ha pada tanah mineral.
Perluasan wilayah kelapa sawit itu mengalami “pembenaran” dengan jargon-jargon pertumbuhan ekonomi untuk merambah daerah-daerah strategis. Kategori daerah terpecil yang jauh dari perkotaan kemudian menjadi target perkebunan dan industri kelapa sawit.
Daerah penghasil sawit terbesar di wilayah Kalimantan Barat adalah Kabupaten Sanggau. Saat ini ada terdapat sekitar 43 perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, baik milik swasta maupun juga milik Badan Usaha Milik Negara.
Wilayah Sanggau sudah dikelilingi perkebunan kelapa sawit yang dianggap sebagai komoditi unggul daerahnya. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit itu berkorelasi dengan pengurangan wilayah hutan dan satwa liar yang ada dan hidup di dalamnya.
Fungsi hutan sebagai penghasil oksigen semakin menipis. Disisi lain pohon kelapa sawit merupakan pemicu berkurangnya kuantitas air tanah karena penyerapan yang tinggi.
Hal itu ditepis dalam menanggapi realitas Dana Bagi Hasil (DBH) perkebunan sawit, Kepala Divisi Kajian, Dokumentasi, dan Kampanye Walhi Kalimantan Barat, Hendrikus Adam, menyoroti sejumlah isu. Meskipun regulasi terkait DBH masih baru, kontribusi dari baru keluar dan pungutan ekspor kelapa sawit hanya mencapai 4 persen dari total penerimaan negara, sekitar Rp. 3.396.196.000.000.
Hendrikus mengungkapkan bahwa alokasi dana ke daerah terasa minim, terutama jika digunakan untuk infrastruktur di sekitar perkebunan sawit yang luas dan kompleks. Ia juga menyoroti dampak negatif investasi perkebunan sawit terhadap lingkungan dan infrastruktur, menyebutnya sebagai ‘alat cuci tangan’ pemerintah yang terkesan mengabaikan kebutuhan warga.
Walhi mendorong kebijakan distribusi DBH yang lebih terbuka dan adil, dengan pembatasan luasan izin perkebunan sawit yang tegas. Hendrikus menekankan perlunya pengawasan yang lebih ketat terhadap penggunaan dana ini untuk membangun infrastruktur sesuai kebutuhan daerah.
Sosialisasi ini mencerminkan kesadaran akan pentingnya tata kelola yang baik dalam mengelola kekayaan alam Indonesia, serta komitmen untuk menciptakan lingkungan perdagangan yang sehat dan berkelanjutan bagi komoditas utama negara ini, yaitu kelapa sawit.

Hutan Adat Teringkang Menunggu Pengakuan Regulasi untuk Perlindungan
Hutan Adat Teringkang Seluas 20 hektare Didusun Seberuak, Desa Gunam, Kecamatan Parindu, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, menanti pengakuan resmi dari pemerintah pusat terkait keputusan dan regulasi untuk melindungi wilayah hutan adat tersebut. Hal ini menjadi fokus pernyataan Valens Andi, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Kabupaten Sanggau, terkait pentingnya perlindungan dan pengakuan resmi terhadap hutan adat.
Menurut keputusan yang dikeluarkan dalam keputusan rapat musyahwarah Temenggung Hayo Poyo Hibun Nomor.01/Temenggung Hayo/VI/2023, dijelaskan tentang penetapan pemangkaou Hutan Adat Poyo Tono Hibun Ketemenggungan Desa Gunam untuk periode 2023-2025.
Hal ini disertai dengan agenda penting dalam meusyawarah adat Desa Gunam tahun 2023 untuk membentuk kelembagaan yang bertugas melindungi dan menjaga hutan adat.
“Kami perlu pengakuan dan regulasi yang jelas dari pemerintah pusat terkait perlindungan hutan adat Teringkang. Ini penting untuk menjaga kelestarian alam dan warisan budaya yang kami junjung tinggi,” ungkap Valens Andi dalam pernyataannya.
Hutan Adat Teringkang sendiri, meskipun sekitarnya mengalami perubahan dari hutan menjadi perkebunan, tetap mempertahankan keasliannya. Di sejumlah daerah di Kabupaten Sanggau, perubahan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit menjadi perhatian bersama.
“Alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan sawit merupakan hal yang umum di daerah ini. Namun, hutan adat Teringkang tetap utuh tanpa mengalami perubahan yang signifikan,” lanjut Valens.
Namun demikian, analisis dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa wilayah Sanggau telah mengalami penurunan yang signifikan dalam luas hutan primer basah. Dari 2002 hingga 2021, Sanggau kehilangan 68.700 hektar hutan primer basah, menyumbang 16% dari total kehilangan tutupan pohon dalam periode yang sama.
“Pengakuan resmi dan regulasi dari pemerintah pusat akan menjadi langkah penting dalam melindungi hutan adat Teringkang. Ini juga sejalan dengan upaya untuk menghentikan atau memperlambat penurunan luas hutan primer basah yang terjadi di daerah ini,” tambah Valens.
Diharapkan bahwa langkah-langkah ini akan membawa perhatian yang lebih besar terhadap pelestarian hutan adat Teringkang serta memberikan perlindungan yang diperlukan bagi warisan budaya dan keberlangsungan lingkungan di masa depan. Pihak terkait menunggu regulasi resmi dari pemerintah pusat untuk dapat memulai upaya perlindungan yang lebih konkrit terhadap hutan adat Teringkang.