21/05/2025
×
×
Today's Local
21/05/2025
Tutup x

Konflik Agraria di Dataran Toili: Perlawanan Masyarakat Adat dalam Bayang-Bayang Korporasi

“Suaka Margasatwa Bakiriang yang seharusnya menjadi kawasan konservasi kini berubah menjadi perkebunan sawit. Perambahan terus terjadi, sementara penegakan hukum masih dipertanyakan.” Foto : Emy

TOILI. Metroluwuk – Di wilayah subur Dataran Toili, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, kehidupan masyarakat adat Suku Taa berjalan selaras dengan alam selama berabad-abad. Namun, sejak dua dekade terakhir, harmoni itu terusik oleh masuknya perusahaan besar yang menanamkan modalnya di sektor perkebunan kelapa sawit. PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), salah satu perusahaan terbesar di wilayah tersebut, kini berada di tengah pusaran konflik agraria yang tak kunjung selesai. Bagi masyarakat adat, ini bukan sekadar soal perebutan lahan, tetapi juga tentang mempertahankan jati diri, warisan leluhur, dan kehidupan yang sudah mereka jalani sejak nenek moyang mereka.

Surat untuk Menteri: Jeritan Masyarakat yang Tak Tersampaikan

Pada Agustus 2024, Lembaga Adat Suku Taa mengirimkan surat resmi kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), mengadukan PT KLS yang mereka tuding telah melakukan berbagai pelanggaran terkait penguasaan lahan. Surat itu mencerminkan keresahan yang mendalam, merinci tuduhan-tuduhan serius terhadap perusahaan tersebut. Di dalamnya, masyarakat mengklaim bahwa PT KLS bekerja sama dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Banggai untuk menerbitkan sertifikat tanah secara ilegal. Sertifikat itu, menurut mereka, meliputi lahan-lahan yang tidak masuk dalam area izin Hak Guna Usaha (HGU) yang diberikan oleh pemerintah.

Tak hanya itu, PT KLS juga dituding menguasai lebih dari 2.000 hektar lahan di Desa Singkoyo dan Desa Toili, melampaui batasan yang diperbolehkan. Masyarakat yang tinggal di Dusun Agro Estate, Desa Singkoyo, mengklaim bahwa lahan mereka yang telah mereka kelola selama puluhan tahun diambil alih secara paksa oleh perusahaan. Isu ini menjadi semakin sensitif karena tanah bagi masyarakat adat Suku Taa bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan juga simbol budaya dan identitas yang diwariskan dari generasi ke generasi.

BACA  Peringatan HUT Partai Golkar ke 60 di Kecamatan Toili Kabupaten Banggai

Sejarah Panjang Perlawanan: Nasrun Mbau dan Pertaruhan Masa Depan Tanah Adat

Nasrun Mbau, seorang tokoh terkemuka di Desa Singkoyo sekaligus Ketua Adat Suku Taa, menjadi wajah dari perlawanan masyarakat terhadap perusahaan tersebut. Bagi Nasrun, konflik ini adalah kisah panjang yang telah berlangsung selama lebih dari 20 tahun, di mana masyarakat adat harus bertarung di bawah bayang-bayang kekuatan hukum dan modal perusahaan besar. Nasrun sendiri pernah dijebloskan ke penjara karena dianggap mengganggu ekspansi perusahaan. Namun, hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk terus memperjuangkan hak-hak adat.

“Tanah ini adalah warisan leluhur kami. Kami hidup di sini, kami membesarkan anak-anak kami di sini, dan kami mengubur nenek moyang kami di sini. Tanah ini adalah bagian dari identitas kami. Bagaimana mungkin kami harus menyerahkannya begitu saja?” ujar Nasrun dengan nada tegas namun penuh emosi.

Bagi Nasrun dan masyarakat adat lainnya, perlawanan ini tidak hanya soal lahan, tetapi tentang mempertahankan martabat dan masa depan mereka. Mereka merasa dihadapkan pada pilihan yang sangat berat: kehilangan tanah mereka atau menghadapi ancaman kriminalisasi dan persekusi.

 

Tuduhan Sertifikat Ilegal dan Pelanggaran HGU

 

Di antara sejumlah tuntutan masyarakat, salah satu yang paling menonjol adalah tuduhan bahwa PT KLS telah mengeluarkan sertifikat tanah di luar area yang diizinkan dalam HGU mereka. Menurut klaim masyarakat, perusahaan ini telah melanggar batas yang ditetapkan oleh pemerintah dengan menguasai lahan tambahan secara ilegal.

Selain itu, masyarakat juga menuding bahwa PT KLS telah melanggar Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2018, yang mewajibkan perusahaan menyerahkan 20% dari lahan HGU kepada masyarakat setempat. Hingga saat ini, mereka menyatakan bahwa perusahaan belum memenuhi kewajiban tersebut.

BACA  Babinsa 1308-14/Toili Bantu Petani Kendalikan Hama Tikus di Sawah

Surat yang dikirimkan kepada Menteri ATR/BPN juga menyoroti bahwa izin HGU PT KLS sudah habis pada 2021 dan tidak dapat diperpanjang. Masyarakat mendesak agar operasi perusahaan segera dihentikan sampai semua tuntutan mereka ditangani.

Bantahan dari PT KLS: Pembelaan dan Klaim Legalitas

Di sisi lain, PT KLS melalui kuasa hukumnya, Dr. Andi Munafri, dengan tegas membantah semua tuduhan tersebut. Menurut Andi, PT KLS tidak terlibat dalam konflik agraria seperti yang dituduhkan masyarakat. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria, PT KLS bukan bagian dari kategori konflik agraria.

“Jika ada sengketa perdata, itu memang ada. Namun PT KLS sebagai badan hukum memiliki hak yang sah, diakui dan diberikan oleh negara melalui instansi yang berwenang. Semua izin dan sertifikat kami adalah sah dan sesuai hukum,” jelas Andi.

Mengenai tuduhan bahwa izin HGU telah habis dan perusahaan melanggar batasan area yang diizinkan, Andi menjelaskan bahwa PT KLS sudah mengajukan perpanjangan izin sejak 2019, jauh sebelum izin itu habis. Namun, proses tersebut terganggu oleh pandemi COVID-19, yang memperlambat tindakan pemerintah dalam meninjau lapangan.

“Pengajuan perpanjangan sudah kami lakukan tepat waktu, tetapi karena pandemi, semuanya tertunda. Sekarang izinnya sedang dalam proses dan akan segera selesai,” ujarnya.

Andi juga menyinggung tentang adanya oknum masyarakat yang mengelola lahan HGU PT KLS tanpa izin. Namun, ia menyatakan bahwa perusahaan telah memilih untuk bersikap bijaksana dengan tidak membawa kasus tersebut ke ranah hukum. “Ada surat pernyataan pengakuan dan permohonan maaf dari oknum tersebut, dan PT KLS memilih untuk memaafkan mereka,” tambahnya.

Di Antara Hukum dan Kearifan Lokal: Jalan Panjang Menuju Penyelesaian

BACA  Pertamina Energi Negeri 6.0 Membangun Generasi, Menginspirasi, dan Berbagi di Banggai

Konflik agraria di Dataran Toili mencerminkan gambaran yang lebih luas tentang ketegangan antara kepentingan ekonomi besar dan hak-hak masyarakat adat di Indonesia. Di berbagai daerah, kasus serupa terjadi: masyarakat lokal yang telah lama hidup di atas tanah leluhur mereka harus berhadapan dengan perusahaan-perusahaan yang datang membawa investasi dan modal besar. Dalam banyak kasus, masyarakat merasa dipinggirkan oleh hukum yang dianggap lebih berpihak kepada pemilik modal.

Namun, di Toili, masyarakat adat Suku Taa tidak menunjukkan tanda-tanda akan menyerah. Meskipun berhadapan dengan kekuatan yang jauh lebih besar, mereka tetap gigih memperjuangkan hak atas tanah mereka. Konflik ini mungkin belum menemukan solusinya, tetapi apa yang terjadi di Dataran Toili menunjukkan bahwa suara masyarakat adat, meski kecil, tak dapat diabaikan.

Bagi Nasrun Mbau dan masyarakat Suku Taa, perjuangan ini bukan sekadar pertarungan legal, tetapi juga tentang mempertahankan martabat mereka sebagai penjaga tanah adat. “Kami tidak akan pernah berhenti berjuang,” kata Nasrun. Di bawah bayang-bayang perusahaan besar, mereka tetap berdiri teguh, menolak untuk tunduk, dan berharap bahwa pada akhirnya, keadilan akan berpihak kepada mereka.

Konflik agraria ini mungkin hanya satu dari sekian banyak kasus yang terjadi di Indonesia, tetapi ia menggambarkan pertempuran panjang masyarakat adat melawan korporasi dan sistem hukum yang sering kali tidak berpihak. Tanah bagi masyarakat adat bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga akar dari identitas, budaya, dan kehidupan mereka.