Masyarakat Desa Watutau Geruduk Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah

Share This Article
POSO, 9 Agustus 2024 – Puluhan masyarakat Desa Watutau bersama Koalisi Kawal Pekurehue yang terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI Sulteng), Solidaritas Perempuan (SP Palu), Simpul Layanan Pemetaan Partisipatif (SLPP Sulteng), SP Sintuvu Raya Poso, Yayasan Panorama Alam Lestari (YPAL), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA Sulteng), dan Pengacara Hijau mendatangi Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah. Kedatangan mereka bertujuan untuk melayangkan surat aduan terkait dugaan pelanggaran HAM yang dialami oleh tujuh warga Desa Watutau—terdiri dari enam laki-laki dan satu perempuan—saat mereka melakukan aksi penolakan dan pencabutan plang Bank Tanah di Dataran Tinggi Lore, Desa Alitupu, Winowanga, Maholo, Kalemago, dan Watutau, Kabupaten Poso.
Surat aduan tersebut menyampaikan keluhan tentang perampasan lahan masyarakat yang dialihkan sebagai aset Badan Bank Tanah di Desa Watutau. Perampasan ini terjadi dalam konteks kebijakan Reforma Agraria di era pemerintahan Jokowi, termasuk Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan PP No 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah. Reforma Agraria, yang seharusnya bertujuan untuk menata kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah secara lebih adil, kini malah memusatkan kekuasaan pada pemerintah pusat, mengabaikan kehidupan masyarakat dan ekosistem setempat.
Implementasi PP Badan Bank Tanah di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, telah mencakup lahan seluas 7.740 hektare. Konflik yang terjadi antara masyarakat dan pemerintah dipicu oleh klaim sepihak dari pemerintah terkait penetapan batas wilayah. Selain meningkatnya eskalasi konflik, kebijakan ini juga memberikan dampak buruk terhadap perempuan, yang sangat bergantung pada sumber-sumber agraria seperti tanah, air, udara, laut, dan hutan.
Pada tanggal 12 Juli 2024, Badan Bank Tanah melakukan sosialisasi kepada masyarakat, menyatakan bahwa tanah yang dipasangi patok adalah tanah negara karena HGU PT SIL telah berakhir pada 13 Desember 2020. Mereka juga menegaskan bahwa masyarakat diperbolehkan mengolah tanah tersebut, namun dilarang menanam tanaman tahunan karena tanah tersebut akan dikelola oleh Bank Tanah selama 50 tahun ke depan.
Reaksi keras dari masyarakat Desa Watutau muncul dalam bentuk aksi penolakan terhadap keberadaan Badan Bank Tanah serta pemasangan patok dan plang pelarangan pemanfaatan tanah. “Kami, masyarakat Desa Watutau, tidak akan meninggalkan tempat ini meskipun harus berhadapan dengan Bank Tanah. Kami menyampaikan dengan tegas bahwa Bank Tanah adalah harga mati yang harus ditolak,” ujar Imanuel Pele, Toko Adat Desa Watutau.
Tokoh perempuan juga turut angkat bicara. “Selain meningkatnya konflik, peraturan ini memberikan dampak buruk terhadap perempuan yang sangat bergantung pada sumber agraria, tidak hanya sebagai sumber ekonomi tetapi juga sebagai sumber pangan, sosial, spiritual, dan ruang aman. Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber agraria, namun peran strategis ini sering kali mendapatkan diskriminasi dan kekerasan berbasis gender dari negara,” ucap Ibu Deice, Toko Perempuan Desa Watutau.
Oleh karena itu, Koalisi Kawal Pekurehua bersama masyarakat Desa Watutau meminta kepada Komnas HAM RI Perwakilan Sulawesi Tengah untuk:
1. Mendesak Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran HAM, khususnya terkait Hak Atas Penguasaan Lahan, Hak Tempat Tinggal, dan Hak Sosial Ekonomi Masyarakat akibat keberadaan Badan Bank Tanah yang mengambil wilayah kelola masyarakat secara melawan hukum.
2. Mendesak Komnas HAM Perwakilan Sulawesi Tengah untuk menangani permasalahan agraria yang terjadi antara masyarakat Desa Watutau dan Badan Bank Tanah, dengan melibatkan semua pihak terkait, termasuk GTRA Poso, Bank Tanah, masyarakat, dan CSO.
3. Melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berupa upaya kriminalisasi terhadap masyarakat Desa Watutau yang mempertahankan wilayah kelolanya oleh Polres Poso.