Tanah di Renggut Perusahan Sawit, Warga Batui Berjuang di Atas Tanah Sendiri

Share This Article
Widyawatiastuti (48) adalah warga Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Perempuan ini berjuang di atas tanahnya sendiri, tidak hanya melawan ketidakadilan sosial dan peran gender yang terbatas, tetapi juga menunjukan bagaimana kegigihan dan semangat mereka dapat membentuk perubahan yang nyata.
Dari petani perempuan Dusun I Ondolu, Kecamaatan Batui, Kabupaten Banggai ia berjuang di atas tanahnya sendiri yang di rampas oleh perusahan sawit. Dalam lingkungan bisnis, yang sering didominasi oleh laki-laki, namun perempuan selalu di kesampingkan.
Hal ini, Perjuangan perempuan melawan di atas tanahnya sendiri belum bisa terwujud karena banyak rintangan menentang ketidakadilan dan kekerasan terhadap perjuangan perempuan di wilayah Kabupaten Banggai.
Widyawati memperjuangan Tanahnya yang direnggut oleh PT. Sawindo Cemerlang (Scem).
Widyastuti adalah seorang Ibu Rumah Tangga (IRT) yang di ancam dari perusahan bergerak di bidang sawit. Kala itu, selama hampir 10 tahun silam ia memperjuangkan hak-hak petani perempuan maupun laki-laki.
Didiskriminasi Oleh Perusahan
Namun Widya di jemput oleh kepolisian sektor Batui, ia di tuduh mencuri buah oleh perusahan, dia di tangkap dan di berlakukan layaknya “Binatang” oleh buser dan brimob, ia di cegat, di tarik dan diskriminasi oleh aparat kepolian. ‘’ Kemana harus kita mengadu sebagai masyarakat yang tertindas” tandasnya saat di periksa oleh kepolisian.
Perempuan ini telah menunjukan ketabahan dan keberanian luar biasa dalam perjuangan di atas tanah mereka sendiri demi mencapai keadilan, kesetaraan dan hak-hak yang setara. Kisah Widyaastuti ini menjadi Inspiratif menjadi bukti akan peran krusial perempuan dalam membentuk masa depan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Karena perempuan telah mnghadapi beragam tantangan untuk melawan diskriminasi gender dan mengatasi kesenjangan sosial yang adda. Apalagi dalam masyarakat awam norma-norma patriaki. Perempuan diwilayah ini memperjuangkan hak mereka untuk memiliki tanah, mengakses pendidikan, dan kemiskinan dikeluarga mereka.
Setelah merasa didiskriminasi, widia berperan aktif dalam membangun gerakan sosial untuk mendukung perempuan.
Tak Punya Nyali di Tanah Sendiri
Bukan hanya Widyastuti saja, pohon sawit setinggi dua hingga tiga meter tumbuh tegak rapi disisi jalan Dusun Seseba, Desa Honbola . diantara kebun itu ada lahan milik Werno, 64 Tahun, warga Kelurahan Lamo, Batui mempunyai luas tanah Sembilan hektare.
Dulu, kata Werno mengisahkan, lahan miliknya itu berisikan tanaman kelapa sekitar 200 pohon. Tapi, oleh perusahan sawit Sawindo Cemerlang digusur paksa tanpa seizing dia. “Kemudian mereka ganti tanami sawit,” Ungkap Werno.
Kejadian ini katanya, berlangsung 2009-2010. Tak disangka kemudian lahan andalan keluarga menjadi petaka bagi Werno. Perlahan ia mulai kehilangan ha katas tanahnya sendiri gara-gara ditanami sawit oleh perusahan. Namun pekerja setempat mengatakan lahan milik Werno merupakan lahan inti dari perusahan tersebut.
Bagi Werno, dia tak mau kerena sawit dirinya kerap berusan dengan Kepolisian setempat, “Setiap Panen, perusahan membawa buser dengan mengunakan l;aras panjang untuk berjaga-jaga,”kayanya.
Peta HGU Sawindo adalah lahan Weno di areal konsensi HGU. Tapi akibat sawit ia mulai kehilangan hak pemhuasaan. Kini Werno dkk hanya bisa melawan sendiri mempertahankan hak-hak mereka.
Kisah Demas Saampap, Petani Pencari Keadilan Yang Jadi Tersangka
DEMAS Saampap (59), warga Desa Honbola, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), mendadak viral dan menjadi sorotan setelah dirinya ditetapkan tersangka oleh kepolisian. Ia dilaporkan perusahaan perkebunan sawit PT Sawindo Cemerlang (Scem) dengan tuduhan pencurian dan di fitnah sebagai tengkulak.
Demas yang bertahun-tahun sedang berjuang atas hak pada bidang tanah di Balo sebagai warisan orang tua dijadikan tersangka karena memanen buah kelapa sawit yang ada diatas lahan tersebut.
Diketahui polemik lahan antara warga dan perusahaan hingga kini terus terjadi. Warga secara terbuka merasa diakali oleh anak perusahaan Kencana Agri itu, sehingga meraka menilai kondisi tersebut tak bisa lagi ditolerir karena sangat sarat penipuan.
Parahnya lagi, 2 tahun terakhir Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banggai masih belum menemukan cara penyelesaiannya konflik antara petani dan perusahaan.
Lembaga Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) dalam kampanye pembelaan terhadap Demas menyebutkan, penetapan tersangka terhadap Demas sepatutnya tak boleh dilakukan karena proses permasalahan antara petani dengan perusahaan sedang dalam penanganan Pemkab Banggai.
Sedangkan panen buah sawit yang dilakukan Demas, bagi KPA merupakan sebuah bentuk perlawanan sistem tanggung renteng yang dipaksakan perusahaan hingga merugikan petani 11 tahun lamanya.
Tanggung renteng sendiri merupakan pola pembayaran perusahaan dengan nilai Rp 380 ribu setelah dipotong 30 persen sebagai angsuran kredit plasma, ini berlaku sama bagi semua petani. Tak hanya itu, nilai hutang bagi para petani juga disamaratakan, yakni Rp 63 juta untuk setiap hektarnya.
Secara langsung, dalam perhitungan itu para perani telah dipatok dengan angsuran kredit sebesar Rp. 114 ribu perbulannya.
Dengan hutang Rp63 juta petani baru dapat melunasi kreditnya ke perusahaan setelah 48 tahun kemudian.
Sistem ini-lah dinilai petani, jika perusahaan tidak menginginkan petani melunaskan kreditnya secepatnya sehingga perusahaan dapat terus menguasai lahan petani dengan kedok anggota plasma.
Demas pun melawan sitem feodal tersebut. Karena Ia berpikir jika panen sendiri maka dia lebih cepat melunasi hutang karena hasilnya besar pula.
Dalam perhitungan Demas, jika panen sendiri dia bisa membayar kredit sebesar 2 juta hingga Rp3 juta per bulan. Ini sangat berbanding terbalik dengan pelunasan Rp114 ribu per bulan sesuai gaya perusahaan.
Aktivis Agraria Eva Bande Minta Demas Saampap Dibebaskan
Aktivis agraria dan keadilan minta agar Demas Saampap petani asal Desa Honbola, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai dibebaskan dari tuduhan sebagai pencuri.
Petani berusia 59 tahun ini ditetapkan sebagai tersangka karena dituding mencuri buah sawit di dalam areal hak guna usaha PT. Sawindo Cemerlang di Balo, Dusun Seseba, Desa Honbola.
“Untuk kesekian kalinya kami mendesak pembebasan terhadap Demas Saampap,” kata Eva usai mendapat kabar penjemputan paksa terhadap Demas tadi malam, Jumat 10 Juni 2022.
Demas dibawa penyidik dengan bantuan personil Buser dari Polres Banggai sekitar pukul 20.00 Wita. Ia dijemput saat sedang istrahat dirumah karena sedang tak enak badan (sakit).
Eva menilai tindakan yang dilakukan aparat dan upaya pelaporan perusahaan terhadap petani merupakan citra buruk yang sedang dipertontonkan. Bagi dia ini perlu mendapat respon semua elemen, baik di tingkat bawah hingga kementerian ATR/BPN maupun Presiden.
“Urgent to respond,” ungkapnya.
Menurut dia, empat tahun sebelum penerbitan HGU pada 2014, pihak Sawindo telah menyerobot lahan dengan menggusur paksa kebun-kebun milik warga, salah satunya bidang tanah yang menjadi objek kasus yang menimpa Demas.
Eva pun menilai PT Sawindo telah memposisikan hukum menjadi alat untuk melegalkan hak guna usaha.
Bupati Banggai Hanya Habis di “Janji”
Bupati Banggai Ir Amirudin kembali meyakinkan petani yang berkonflik dengan PT Sawindo Cemerlang, bahwa masalah konflik lahan sedang dalam tahap penyelesaian. Ia mengatakan tim terpadu atau Pokja telah bekerja maksimal.
“Pokja sudah bekerja, dan Pokja sudah melaporkan hasil kerjanya kepada saya,” kata Amirudin dihadapan petani yang menggelar aksi di DPRD Banggai. Selasa 5 Juli 2022.
Saat ini kata Amirudin, Pokja telah memverivikasi lahan lahan warga yang masuk ke dalam hak guna usaha PT. Sawindo Cemerlang.
“Kesepakatan kemaren, lahan warga, petani yang masuk dalam HGU maka itu akan dikeluarkan. Sekarang tim pokja itu, hasil kerjanya sudah diserahkan ke BPN.”
“Kami tinggal menunggu dari BPN terhadap hasil verivikasi tanah-tanah itu,” terangnya di dampingi ketua DPRD Banggai, Suprapto.
Selanjutnya, petani akan diundang kembali dalam rapat pembahasan yang juga menghadirkan pihak perusahaan dalam rangka menyepakati rencana-rencana yang diinginkan warga.
Masyarakat Adat Batui Menentang Persahan Sawit
Kala itu, Jumat Sore langit di Kecamatan Batui, sedikti mendung. Doa yang sama dari tahun-tahun sebelumnya kembali di ucapka, baru dua bait doa yang diucapkan dengan pengeras suara membuat bulu kuduk berdiri. Emosi dari dalam diripun keluar dengan rasa sedih yang mencekat leher.
Sebagian warga adat yang hadir dalam ritual pengantaran tumpe menintihkan airmata, sebahagian lagi bergerak berdiri seperti menari. Dipercaya adaroh leluhur yang masuk mneyatu.
“Kami masyarakat adat batui, mihampi do abele Tumpu Allah Subhanahu wa Ta’ala anu kuasa. Anu mantongi kunsing alat dunia anya” itulah istilah adat ritual tumpe yang di pakai dalam perayaan Tahunan 2 Desember.
Dirumah adat Batui yang didominasikan warna merah, doa ini dipanjatkanpermohonan dan harapan warga adat Batui yang mulai sirna juga diucap, manuk-manuk (Maleo) yang sudah berjejak lagi. Dalam bahasa setempat dikeluhkan dengan ungkapan ha’mo mompia atau tidak lagi melihatnya. Ancaman kepunahan maleo lantaran habitatnya juga juga diusk sedang berlangsung.
Hutan kawasan yang dulunya menjadi tempat tinggal utama maleo kini telah diramba dan berubah fungsi menjadi lahan pemukiman juga perkebunan kelapa sawit. Bukan alasan kosong masyarakat Batui untuk meminta ketegasan pemerintah, tapi memang keberadaan hutan lindung ini patut dijaga dan terus dipertahankan.
Namun apadaya, warga adat hanya bisa melihat kekejaman ekspansi sawit merambah hutan leluhur dan mengubahnya jadi perkebunan sawit, padahal jika melihat sejarah hutan lindung. Seperti yang dimaksud para leluhur di kala Banggai, Bangkep, dan Balut masih masih dalam administrasi yang sama.
Terbukti dalam surat keputusan raja Banggai, No. 4 Tahun 1936 dengan luas +3.500 hektare letaknya di komplek hutan pegunungan Batuiyang memanjang keselatan sampai ke pantai Bakiriang. Inilah dasar para adat Batui yang selalu mengingatkan saban tahun pada prosesi pengantaran tumpe ke keratin Banggai di Kabupaten Banggai Laut.
Sebelumnya juga Gubernur Kepala Daerah Tingakat I Sulawesi Tengah melalui Surat Keputusan Gubernur No. SK. 188.44/3932/DINHUT/89 tanggal 30 Agustus 1989 turut merekomendasikan kawasan seluas ± 3.900 hektar adalah kawasan yang mesti dilindungi. Tak lama juga kemudian rekomendasi Gubernur ini diakomodir didalam Struktur Tata Ruang Propinsi (STRP) Sulawesi Tengah yang disahkan Gubernur berdasarkan Keputusan Nomor 522.1/1029/1996. Dimana kawasan SM Bakiriang seluas ± 3.900 Ha masuk Kawasan Lindung dengan fungsi sebagai Suaka Margasatwa.Terkhusus untuk habitat satwa endemik Sulawesi yaitu Burung maleo (Macrocephalon maleo).
Pada tahun 1998 dikeluarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor; 398/Kpts-II/1998 tanggal 21 April 1998 tentang penunjukan Areal Hutan Bakiriang yang terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Banggai Propinsi Daerah Tingkat I.