Kisah Demas Saampap, Petani Pencari Keadilan Yang Jadi Tersangka

Share This Article
DEMAS Saampap (59), warga Desa Honbola, Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), mendadak viral dan menjadi sorotan setelah dirinya ditetapkan tersangka oleh kepolisian. Ia dilaporkan perusahaan perkebunan sawit PT Sawindo Cemerlang (Scem) dengan tuduhan pencurian dan di fitnah sebagai tengkulak.
Demas yang bertahun-tahun sedang berjuang atas hak pada bidang tanah di Balo sebagai warisan orang tua dijadikan tersangka karena memanen buah kelapa sawit yang ada diatas lahan tersebut.
Diketahui polemik lahan antara warga dan perusahaan hingga kini terus terjadi. Warga secara terbuka merasa diakali oleh anak perusahaan Kencana Agri itu, sehingga meraka menilai kondisi tersebut tak bisa lagi ditolerir karena sangat sarat penipuan.
Parahnya lagi, 2 tahun terakhir Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banggai masih belum menemukan cara penyelesaiannya konflik antara petani dan perusahaan.
Lembaga Konsorsium Pembaharuan Agararia (KPA) dalam kampanye pembelaan terhadap Demas menyebutkan, penetapan tersangka terhadap Demas sepatutnya tak boleh dilakukan karena proses permasalahan antara petani dengan perusahaan sedang dalam penanganan Pemkab Banggai.
Sedangkan panen buah sawit yang dilakukan Demas, bagi KPA merupakan sebuah bentuk perlawanan sistem tanggung renteng yang dipaksakan perusahaan hingga merugikan petani 11 tahun lamanya.
Tanggung renteng sendiri merupakan pola pembayaran perusahaan dengan nilai Rp 380 ribu setelah dipotong 30 persen sebagai angsuran kredit plasma, ini berlaku sama bagi semua petani. Tak hanya itu, nilai hutang bagi para petani juga disamaratakan, yakni Rp 63 juta untuk setiap hektarnya.
Secara langsung, dalam perhitungan itu para perani telah dipatok dengan angsuran kredit sebesar Rp. 114 ribu perbulannya.
Dengan hutang Rp63 juta petani baru dapat melunasi kreditnya ke perusahaan setelah 48 tahun kemudian.
Sistem ini-lah dinilai petani, jika perusahaan tidak menginginkan petani melunaskan kreditnya secepatnya sehingga perusahaan dapat terus menguasai lahan petani dengan kedok anggota plasma.
Demas pun melawan sitem feodal tersebut. Karena Ia berpikir jika panen sendiri maka dia lebih cepat melunasi hutang karena hasilnya besar pula.
Dalam perhitungan Demas, jika panen sendiri dia bisa membayar kredit sebesar 2 juta hingga Rp3 juta per bulan. Ini sangat berbanding terbalik dengan pelunasan Rp114 ribu per bulan sesuai gaya perusahaan.
Namun, upaya Demas ini berujung kriminalisasi. Aparat kepolisian dinilai tidak mau mengetahui apa substansi permasalahan yang sebenarnya. Yang ada hanya mengaburkan solusi dengan menyandera petani di bawah hukum, kutip post kampanye KPA.
Tak hanya berjuang membebaskan diri dari kredit perusahaan, Demas dan petani lainnya juga sedang berjuang atas keabsahan lahan milik mereka.
Banyak lahan petani yang diklaim sepihak oleh perusahaan melalui mafia tanah berinisial NT.
Dimana sejumlah hak alas milik petani yang disetor ke perusahaan melalui Ngatimin oleh perusahaan diajukan ke BPN untuk diterbitkan sertifikat atas nama perusahaan dengan tujuan untuk menghilangkan hak-hak petani yang sebenarnya.
Ditetapkan sebagai tersangka membut Demas terguncang dan berdampak pada kondisi mentalnya. Shock yang dirasakan Demas akhirnya membuat kesehatan Demas terganggu. Demas pun harus menghentikan aktifitas bertani dikebunnya karena sakit.
Melihat keadaanya Demas, Vilda istri Demas pun tak tinggal diam. Bersama dengan petani dan masyarakat Batui lainnya Vilda turun langsung dalam aksi Gerakan Batui Melawan (KANTA) di DPRD Banggai, BPN Luwuk dan kantor Bupati Banggai, Senin (30/05/22).
Dengan menahan tangis, ibu tiga orang anak ini mengungkapkan keluh kesahnya dihadapan Tim Pokja Pemkab Banggai, anggota DPRD Banggai dan BPN Luwuk.
Vilda menuturkan suaminya yang menjadi tersangka atas tuduhan pencurian buah kelapa sawit oleh PT Scem telah memiliki lahan tersebut sejak 1960-an. Lahan itu digarap suaminya untuk berkebun dan di tanami kelapa guna keberlangsungan hidup keluarganya.
Ketika PT Scem berinvestasi di Kabupaten Banggai di 2015, lanjutnya, perusahaan meminta agar suaminya dan petani lainnya mau meminjamkan lahannya untuk dijadikan areal pembibitan kelapa sawit.
Kepada para petani perusahaan berjanji bahwa lahan mereka akan dijadikan kebun plasma dan membagi hasilnya.
Namun, seiring berjalannya waktu, perusahan yang telah beroperasi tersebut tak menepati janjinya kepada para petani. Petani tidak mendapatkan hasil plasma yang dijanjikan.
“Suami saya tidak punya sekolah pak, tidak tahu aturan, yang di tahu itu lahan kami dan ketika mengolahnya kembali, suami saya di tuduh mencuri, hukum ini sebenarnya bagaimana pak,” ucap Vilda dengan mata berkaca-kaca.
Vilda menegaskan lahan tersebut menjadi satu-satunya tempat sandaran hidup bagi keluarga dan anak-anaknya.
“Harapannya ketika perusahaan datang, mampu membawa angin segar bagi kesejahteraan bagi para petani. Namun harapan itu pupus, ketika bagi hasil yang dijanjikan tak kunjung datang,” tegasnya.
Vilda menambahkan saat dijadikan tersangka pihak kepolisian menyatakan bahwa suaminya bukanlah seorang petani, melainkan tengkulak.
“Saya tidak tahu apa itu tengkulak, tapi ketika ibu anggota DPRD Banggai menjelaskan kepada saya apa itu yang dinamakan tengkulak, tentu saja saya dengan tegas mengatakan bahwa suami saya bukan tengkulak. Suami saya murni seorang petani, bukan tengkulak seperti apa yang dituduhkan oleh Polisi. Suami saya hanya petani kecil yang sedang mempertahankan hak nya. Lihat tangan saya bu, penuh dengan luka bekas goresan karena baolah kebun,” tandasnya.