18/05/2025
×
×
Today's Local
18/05/2025
Tutup x

Kemana Dinas Pendidikan? Warga Miskin di Luwuk Utara Terbebani Pembelian Buku Sekolah


BANGGAI, Metroluwuk – Di tengah hiruk pikuk aktivitas harian di Kilongan, Kecamatan Luwuk Utara, suara keras dari pukulan palu ke batu menjadi musik latar hidup seorang ibu bernama Wartini. Pekerjaan sebagai pemecah batu telah menjadi rutinitasnya demi menyambung hidup keluarganya. Namun, kini ia dihadapkan pada tantangan baru: kewajiban membeli buku sekolah bagi anak-anaknya yang semakin membebani keuangannya.

Meski pemerintah telah melarang pembelian buku oleh orang tua murid dan telah menyediakan Dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) untuk pengadaan buku pelajaran, SDN Luwuk Utara masih melanggarnya. Wartini bersama banyak orang tua lainnya harus mengeluarkan Rp 195 ribu untuk membeli buku yang dijual oleh oknum guru, yang tersebar dari kelas I hingga kelas VI.

“Dengan penghasilan sebagai pemecah batu yang sangat minim, harga buku itu sangat mahal bagi saya,” ungkap Wartini dengan suara bergetar. Setiap hari, ia berjuang di bawah terik matahari, memecah batu satu per satu untuk mendapatkan sekitar Rp 35 ribu. Penghasilannya sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk membeli buku sekolah. “Pendapatan saya hanya sekitar Rp 35 ribu per hari,” tambahnya.

Selain buku, orang tua murid juga harus membeli pakaian olahraga seharga Rp 225 ribu dan seragam batik seharga Rp 115 ribu. Beban ini semakin berat dengan biaya tambahan untuk buku yang harus dibeli di sekolah dan penyedia lainnya.

Saat dikonfirmasi, Hendrik Pontoh, Kasi Kelembagaan dan Sarana Prasarana Bidang SD, mengatakan akan mengecek langsung informasi tersebut. “Tunggu saya telpon dulu kepseknya,” ujarnya. Melalui sambungan telepon, Kepala Sekolah menyatakan bahwa penjualan buku tersebut bukanlah inisiatif dari pihak sekolah, melainkan dilakukan oleh oknum guru.

BACA  Osis SMA N 1 Toili Soroti Minimnya Peran Pertamina EP DMF Terhadap Dunia Pendidikan

“Setelah mendapatkan telepon dari pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banggai, barulah kepala sekolah memerintahkan agar tidak memperjualbelikan buku di dalam sekolah. Namun, tetap disarankan untuk membeli di luar sekolah melalui pihak ketiga,” ungkap salah satu orang tua murid yang enggan disebutkan namanya.

Meski demikian, keputusan tersebut tidak banyak membantu Wartini. “Membeli di luar sekolah atau di dalam sekolah, tetap saja saya harus mengeluarkan uang yang tidak saya punya,” katanya.

Situasi ini mengundang pertanyaan besar terkait efektivitas penggunaan Dana BOS yang seharusnya meringankan beban orang tua murid. Wartini dan orang tua lainnya berharap pihak Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Banggai dapat mengambil tindakan tegas terhadap oknum guru dan pihak sekolah yang melanggar aturan.

“Kemana Dinas Pendidikan saat kami membutuhkan bantuan? Pendidikan seharusnya bisa diakses oleh semua anak tanpa membebani orang tua yang kurang mampu,” tutup Wartini, sambil menatap jauh ke arah tumpukan batu yang masih harus ia pecah.

Kisah Wartini adalah potret nyata dari perjuangan warga kurang mampu yang terhimpit oleh kebijakan yang tidak konsisten. Perjuangan keras mereka di lapangan seharusnya tidak dihadapkan lagi dengan beban yang seharusnya sudah diatasi oleh sistem pendidikan yang ada.