18/05/2025
×
×
Today's Local
18/05/2025
Tutup x

Viral: SM Bakiriang Diserobot Sawit, Penegak Hukum Diam?

“Suaka Margasatwa Bakiriang yang seharusnya menjadi kawasan konservasi kini berubah menjadi perkebunan sawit. Perambahan terus terjadi, sementara penegakan hukum masih dipertanyakan.” Foto : Emy

MetroLuwuk, Banggai – Hasil jejak informasi MetroLuwuk.net diduga dampak penurunan luas Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang, pembersihan lahan (land clearing) awal dilakukan untuk dialihfungsikan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Sejumlah wilayah dalam batas kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang telah ditanami kelapa sawit. Hanya demi produksi CPO, kawasan konservasi menjadi korban. Hingga 2025, belum ada perhatian serius dari pemerintah maupun penegak hukum di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Setidaknya Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah telah mendata perambahan kawasan konservasi Suaka Margasatwa Bakiriang. Seperti diberitakan Mongabay.co.id, pada 2017 ditemukan perambahan untuk perkebunan sawit seluas 1.005 hektare di SM Bakiriang. Mereka juga menemukan 68 keluarga penggarap sawit plasma seluas 250 hektare untuk diserahkan kepada PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS), jelas Subagyo, Kepala Seksi Wilayah II, Balai Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Wilayah Sulawesi.

Sebelumnya, pada November 2008, almarhum pimpinan PT Kurnia Luwuk Sejati, Murad Husain, mengatakan akan meningkatkan target produksi CPO (Crude Palm Oil) sekitar 25.000 ton dengan asumsi pendapatan Rp250 miliar.

Dengan perluasan perkebunan di Kabupaten Morowali Utara sekitar 3.000 hektare dan Kabupaten Banggai dengan luas perkebunan yang terbagi menjadi kebun sawit plasma 9.700 hektare serta kebun inti seluas 6.300 hektare, perusahaan ini menggunakan pendekatan ‘kebun inti dan plasma’ (nucleus estate and smallholder).

Pengakuan Warga: Dari Hutan Lebat Jadi Sawit

Melansir laporan Mongabay.co.id, Ismail, warga yang kini tinggal di dalam SM Bakiriang, bercerita bahwa dulu ia adalah salah satu petani yang membuka kebun sawit di kawasan konservasi itu. Pada 2002, ia bersama 25 petani lain membentuk kelompok untuk membuka lahan sekitar 50 hektare di kawasan hutan ini.

BACA  Arahan Perdana Kapolres Banggai: Jaga Nama Baik Keluarga dan Polri, Pesan AKBP Putu

“Dulu, hutan di sini sangat lebat, banyak pepohonan. Sekarang tinggal kenangan, sudah jadi sawit,” kata Ismail Nurdin, petani asal Desa Sinorang, awal April lalu.

Setiap petani bertugas membuka dua hektare lahan: satu hektare untuk kebun plasma dan satu hektare untuk kebun inti yang nantinya diserahkan ke perusahaan sawit, PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS).

Setelah kebun berhasil dibuka, KLS memberikan modal dan bibit kepada mereka. Kemudian, petani diarahkan untuk mendapatkan Surat Keterangan Kepemilikan Tanah (SKPT) dari pemerintah desa.

Namun, alih-alih mendapatkan SKPT, Ismail dan rekan-rekannya justru tertipu oleh ketua kelompok petani mereka. Kebun yang mereka buka di kawasan konservasi diserahkan langsung kepada KLS tanpa penyelesaian sesuai pembicaraan awal.

“Kami tidak dapat apa-apa. Kebun yang susah payah kami buka tak menjadi milik kami. Hanya ketua kelompok yang senang, mereka yang menikmati hasil jerih payah kami. Perusahaan mengambil alih semua lahan yang kami buka saat itu,” ungkap Ismail. Hingga kini, pria berusia 72 tahun ini tak memiliki kebun.

Hal serupa dialami Merid Saido, rekan Ismail. Kekecewaan 20 tahun lalu itu masih membekas, namun ia mengaku bingung harus berbuat apa.

Tanpa lahan tani, Merid dan Ismail tetap memilih tinggal di Suaka Margasatwa Bakiriang bersama keluarga mereka, meskipun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah pernah meminta mereka keluar karena berada di kawasan konservasi. Mereka tetap bertahan.

Menjejaki Penegakan Hukum

Kisah pembiaran perambahan ilegal ini sudah lama terjadi. Bahkan, di atas tanah Suaka Margasatwa Bakiriang kini telah berdiri fasilitas umum seperti sekolah dasar, pemukiman, dan rumah ibadah—sesuatu yang seharusnya tidak diperbolehkan sejak awal.

Informasi yang diterima MetroLuwuk.net mengenai penurunan luas Kawasan Suaka Margasatwa Bakiriang di Kabupaten Banggai telah didalami oleh Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Tengah. Pada Maret 2025, sebanyak 16 orang telah dipanggil untuk diperiksa.

BACA  Kapolres Banggai Pimpin Pengawalan Pengiriman Hasil Rekapitulasi Suara ke KPU Sulteng

Salah satu di antara mereka membenarkan adanya pemeriksaan tersebut, namun enggan disebutkan namanya.

“Kami mendapat panggilan untuk menghadap pada 5 Maret 2025 di Kejaksaan Tinggi,” ungkapnya saat dimintai konfirmasi pada 9 Maret 2025.

Ia menegaskan bahwa Pemerintah Daerah tidak tinggal diam dalam menangani kasus ini.

“Pemerintah Daerah memiliki dokumen resmi terkait status SM Bakiriang. Jika kami diam, tentu kami tidak akan hadir dalam pemanggilan di Kejati Sulteng,” tegasnya.

Hingga kini, status kawasan konservasi SM Bakiriang masih diakui berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 398/Kpts-II/1998 dengan luas ±12.500 hektare. Pada 30 Agustus 1989, Gubernur Sulawesi Tengah memperluas kawasan konservasi ini menjadi 3.900 hektare melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor SK. 188.44/3932/DINHUT/89.

Dokumen resmi juga mencantumkan bahwa SM Bakiriang masuk dalam Struktur Tata Ruang Provinsi (STRP) Sulawesi Tengah berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 522.1/1029/1996.

Penetapan status SM Bakiriang juga dimasukkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Hingga 2025, statusnya belum berubah dan tetap ditetapkan sebagai Kawasan Lindung Nasional sesuai Pasal 57 ayat (1).

“Jadi, jelas. Pemerintah Daerah tidak diam. Kami hanya tidak ingin situasi ini dipolitisasi. Kami bekerja untuk kepentingan masyarakat dan penyelamatan hutan tersisa di Banggai ini,” ujarnya.

Terkait keberadaan warga di dalam kawasan konservasi, ia menegaskan bahwa hal ini tetap menjadi perhatian pemerintah daerah.

“Mereka adalah rakyat yang harus dilindungi, namun tetap memiliki risiko hukum,” pungkasnya.