15/07/2025
×
×
Today's Local
15/07/2025
Tutup x

Darurat Kepemimpinan Calon Terhambat, Perempuan Sulit Berlaga dalam Pemilihan Umum

Darurat Kepemimpinan, Pernikahan Dini, dan Kekerasan Perempuan di Banggai

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dijadwalkan pada 14 Februari 2024 mendatang, sejumlah calon, terutama perempuan, dihadapkan pada tantangan signifikan terkait dengan kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. foto Emay

BANGGAI, Metroluwuk – Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang dijadwalkan pada 14 Februari 2024 mendatang, sejumlah calon, terutama perempuan, dihadapkan pada tantangan signifikan terkait dengan kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. Dalam kisah yang memprihatinkan, beberapa calon yang semula berharap untuk turut serta dalam bursa pemilihan, mendapati diri mereka terhambat karena ketentuan kuota yang harus dipenuhi.

Peraturan yang mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen dalam pemilihan umum merupakan upaya pemerintah untuk memastikan partisipasi perempuan dalam arena politik. Namun, implementasinya tidak selalu berjalan mulus, seperti yang dialami sejumlah calon yang tak dapat mencalonkan diri karena minimnya jumlah perempuan yang bersedia bertarung.

Dalam situasi darurat kepemimpinan ini, banyak perempuan yang sebelumnya bermimpi memegang jabatan publik, kini terpaksa menahan langkahnya. Beberapa calon melaporkan bahwa meskipun memiliki kompetensi dan kualifikasi yang dibutuhkan, tetapi minimnya dukungan dari partai politik dan masyarakat membuat perjalanan politik mereka semakin sulit.

Salah seorang calon perempuan yang terhambat, Siti Rahayu, menyatakan kekecewaannya terhadap situasi ini. “Saya telah berkomitmen untuk mewakili suara perempuan di dalam lembaga legislatif, namun aturan kuota ini membuat perjuangan saya menjadi lebih sulit. Partai politik lebih memilih calon pria yang dianggap memiliki ‘daya tarik’ yang lebih besar di mata pemilih,” ujarnya dengan nada kecewa.

Dalam konteks ini, banyak pihak menyuarakan perlunya evaluasi mendalam terkait implementasi kuota keterwakilan perempuan. Beberapa ahli politik menegaskan bahwa sementara regulasi ini bertujuan baik, harus ada perhatian lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang mungkin menghambat perempuan untuk terlibat dalam dunia politik.

Masyarakat sipil, kelompok advokasi perempuan, dan aktivis hak asasi manusia mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah konkret guna memastikan keterwakilan perempuan tidak hanya terbatas pada angka, tetapi juga diwujudkan melalui dukungan yang nyata dari partai politik dan masyarakat.

Sementara Pemilu tinggal beberapa minggu lagi, kisah darurat kepemimpinan ini memberikan sorotan terhadap tantangan nyata yang dihadapi perempuan dalam memasuki arena politik. Tantangan ini juga membangkitkan pertanyaan seputar keberlanjutan dan efektivitas langkah-langkah pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan gender di dunia politik Indonesia.

 

Perjuangan Ibu Siti Rahayu – Menembus Batasan Keterwakilan

Didesa Garuga, Kecamatan Mantoh, Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, ada seorang perempuan tangguh bernama Siti Rahayu. Ia bukanlah sosok biasa, melainkan pejuang yang memimpin perjalanan panjang untuk memperjuangkan hak dan keterwakilan perempuan di arena politik. Cerita ini dimulai menjelang  Pemilihan Umum 2024, ketika Siti Rahayu memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPRD.

Namun, langkahnya terhambat oleh aturan kuota keterwakilan perempuan sebesar 30 persen. Ibu Siti Rahayu memiliki niat tulus untuk mewakili suara perempuan, minimnya calon perempuan dalam pendaftaran di dapil III, Kabupaten Banggai, membuatnya terpaksa mengurungkan niatnya.

Dalam kekecewaannya, Siti Rahayu tidak tinggal diam. Bersama sejumlah perempuan yang memiliki semangat yang sama, ia memulai kampanye untuk memperjuangkan hak keterwakilan perempuan yang lebih inklusif. Mereka menyuarakan kebutuhan akan peninjauan kembali aturan kuota yang dianggap memberatkan dan merugikan perempuan yang sebenarnya berkompeten.

Perjalanan mereka tidak hanya menemui hambatan di tingkat lokal. Eks Komisioner KPU Kabupaten Banggai, Supriadi Lawani, turut berdiri di sisi mereka. Lawani memutuskan untuk mengajukan keberatan terhadap Daftar Calon Tetap (DCT) anggota DPRD yang dianggapnya melanggar undang-undang tentang keterwakilan perempuan.

Ketegangan mencapai puncaknya saat sidang di ruang Gakumdu, Kelurahan Hanga-Hanga Perma, Luwuk Selatan. Di sini, Budi Lawani dan masyarakat setempat menunggu keputusan Bawaslu Banggai terkait aduan mereka. Sidang menjadi panggung pertarungan antara keinginan perempuan untuk terlibat dalam politik dan sistem yang terkadang memberatkan mereka.

KPU Banggai memberikan jawaban tegas, menyatakan bahwa persentase keterwakilan perempuan dari enam partai politik untuk Dapil 3 telah memenuhi ketentuan 30 persen. Namun, Lawani tetap bersikeras, menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara DCT dan undang-undang yang harusnya mencerminkan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.

Sidang ini menjadi simbol perlawanan terhadap ketidaksetaraan gender dalam politik. Ibu Siti Rahayu dan Lawani, bersama dengan masyarakat yang mendukung mereka, berharap bahwa keputusan Bawaslu akan membawa keadilan bagi perempuan di Kabupaten Banggai dan menjadi langkah menuju keterwakilan perempuan yang lebih substansial di panggung politik Indonesia.

Peraturan yang mengamanatkan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen di pemilihan umum merupakan langkah positif pemerintah dalam memastikan partisipasi perempuan dalam arena politik. Namun, pelaksanaannya menghadapi kritik keras karena minimnya jumlah perempuan yang bersedia mencalonkan diri.

Beberapa pihak menganggap aturan ini sebagai dilema tersendiri. Meskipun tujuannya positif, kenyataannya banyak daerah yang kesulitan menemukan calon perempuan yang bersedia bertarung. Sebagai hasilnya, sejumlah calon, seperti Siti Rahayu, harus mengorbankan niat politik mereka.

Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan DCT anggota DPR, DPD, dan DPRD pada 4 November 2023, upaya ini belum memenuhi persyaratan kuota minimum 30 persen kandidat perempuan, terutama di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah.

Kasus ini memunculkan indikasi bahwa perempuan di tinggalkan dan peran mereka dalam kontestasi politik semakin menyempit. Dari lima partai politik yang mengajukan calon di Dapil Banggai, hanya satu partai yang memenuhi kuota keterwakilan perempuan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Banggai kembali menggelar sidang pemeriksaan dugaan Pelanggaran Administrasi Pemilu yang dilaporkan eks Komisioner KPU Banggai, Supriadi Lawani. Sidang yang dipimpin Ketua Majelis Pemeriksa, Ridwan itu berlangsung di Kantor Sentra Gakkumdu Banggai di Kelurahan Hanga-hanga Permai, Kecamatan Luwuk Selatan, Selasa (14/11/2023). foto milik Nawi TribunPalu.com

Kritik Tajam dari Eks Komisioner KPU: Keterwakilan Perempuan Terancam

Eks Komisioner KPU Kabupaten Banggai, Supriadi Lawani alias Budi , mengeluarkan kritik tajam terhadap keputusan KPU terkait DCT anggota DPRD Kabupaten Banggai. Lawani menduga adanya pelanggaran administrasi yang merugikan aspek keterwakilan perempuan dalam politik.

Menurut Lawani, dugaan pelanggaran ini muncul karena beberapa Partai Politik yang terdapat dalam DCT tidak memenuhi persyaratan 30 persen keterwakilan perempuan. Lawani menyoroti ketidaksesuaian antara DCT yang ditetapkan oleh KPU dan persyaratan yang diatur dalam undang-undang.

Jawaban Tegas dari KPU: Persentase Keterwakilan Perempuan Sudah Sesuai

Dalam sidang perkara aduan yang melibatkan KPU Banggai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan tegas membantah laporan Lawani terkait dugaan pelanggaran administrasi. KPU Banggai meyakinkan publik bahwa persentase keterwakilan perempuan dari enam partai politik untuk Dapil 3 telah memenuhi ketentuan minimum sebesar 30 persen.

Meskipun klaim tersebut disuarakan dengan keyakinan, perdebatan ini semakin memperumit isu keterwakilan perempuan dalam kancah politik. Sidang akan terus mempertimbangkan argumen dari kedua belah pihak, dan keputusan akhir nantinya akan mencerminkan penilaian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terhadap substansi dan bukti yang diajukan selama persidangan.

Kisah darurat ini secara jelas mencerminkan tantangan besar yang dihadapi perempuan dalam upaya mereka untuk terlibat secara aktif dalam politik, menyoroti perlunya perubahan mendasar guna mencapai keseimbangan gender yang sejati. Kami akan terus menyajikan informasi terkini seiring berjalannya persidangan.

Dalam sidang perkara aduan yang melibatkan KPU Banggai, KPU menyatakan bahwa laporan Lawani terkait dugaan pelanggaran administrasi tidak beralasan. KPU Banggai mengklaim bahwa persentase keterwakilan perempuan dari enam partai politik untuk Dapil 3 sudah memenuhi ketentuan 30 persen.

Meskipun demikian, perdebatan ini menambah kompleksitas isu keterwakilan perempuan dalam politik. Sidang akan terus mempertimbangkan argumen dari kedua belah pihak, dan keputusan akhir akan mencerminkan penilaian Bawaslu terhadap substansi dan bukti yang diajukan dalam persidangan.

Kisah darurat ini menggambarkan tantangan besar yang dihadapi perempuan dalam upaya mereka untuk terlibat dalam politik, menyiratkan bahwa perubahan mendalam diperlukan untuk mencapai keseimbangan gender yang sejati.

Di tengah sorotan publik atas isu keterwakilan perempuan di parlemen Kabupaten Banggai, sebuah kejadian mendalam merebak yang mengguncang hati masyarakat. Banyaknya kasus – kasus pernikahan dini mengemuka, menciptakan benang merah yang kompleks antara keterlibatan perempuan dalam politik dan realitas sosial di lapangan.

Adanya 238 kasus pernikahan usia dini selama tahun 2023. Infografis Milik Emay

Berita tentang keterwakilan perempuan di parlemen mencuat ketika KPU Banggai mengumumkan bahwa persentase perwakilan perempuan dari enam partai politik di Dapil 3 telah mencapai ketentuan minimal 30 persen. Namun, debat pun meletup, mempertanyakan sejauh mana keterwakilan perempuan ini dapat memberikan dampak positif pada masalah-masalah sosial yang tengah dihadapi, termasuk isu pernikahan dini.

Isu pernikahan dini di Banggai menjadi pusat perhatian seiring kasus-kasus tersebut mulai terungkap. Di tengah upaya untuk mendorong keterwakilan perempuan di panggung politik, muncullah pertanyaan kritis: apakah kehadiran perempuan dalam parlemen dapat membawa perubahan nyata dalam menangani isu sosial seperti pernikahan dini?

Beberapa kalangan mendukung bahwa keterlibatan perempuan dapat membawa pandangan baru dan lebih komprehensif dalam merumuskan kebijakan yang mengatasi akar masalah. Mereka berpendapat bahwa perempuan, dengan pengalaman hidup yang unik, dapat lebih peka terhadap isu-isu sosial, termasuk perlindungan anak dan perempuan.

Namun, skeptisisme juga berkembang, terutama ketika kasus pernikahan dini terungkap. Beberapa pihak menilai bahwa, meskipun adanya keterwakilan perempuan, masih diperlukan tindakan konkret dan kebijakan yang lebih kuat untuk menanggulangi praktek-praktek pernikahan dini yang merugikan ini.

Seiring berjalannya waktu, cerita ini menjadi panggung perdebatan yang kompleks antara aspirasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen dan kenyataan sulit yang dihadapi oleh masyarakat dalam menghadapi isu pernikahan dini. Di tengah dinamika ini, kebijakan dan langkah-langkah nyata diharapkan dapat menggantikan sekadar retorika, menciptakan transformasi yang substansial dan menyentuh kehidupan setiap warga Banggai.

Darurat Kepemimpinan, Pernikahan Dini, dan Kekerasan Perempuan di Banggai

Malam yang gelap di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah, menjadi saksi bisu dari serangkaian kisah darurat kepemimpinan, pernikahan dini, dan perjuangan melawan kekerasan perempuan. Lampu jalan kota yang redup memberikan kilatan cahaya pada sepanjang jalanan, tetapi di balik kisah malam itu terdapat realitas yang mengguncang hati masyarakat.

Di tengah suasana malam yang meresap, terkuaklah sebuah fenomena mencengangkan mengenai pernikahan usia dini di Sulawesi Tengah selama tahun 2023. Sebuah pemandangan yang melibatkan kisah-kisah pribadi pasangan muda, mencerminkan tekanan sosial dan ekonomi yang melatarbelakangi keputusan mereka untuk menikah pada usia yang sangat muda.

Salah satu kisah yang memilukan berasal dari salah satu desa di Kabupaten Banggai, di mana 36 pernikahan usia dini tercatat sepanjang tahun. Dika dan Sari (nama samaran), pasangan muda ini, menjadi contoh hidup nyata dari beban sosial dan ekonomi yang mendorong mereka untuk mengambil keputusan besar tersebut.

Dika, seorang pemuda 19 tahun, berbagi kisahnya, “Kondisi ekonomi keluarga kami sangat sulit. Sari dan saya merasa terbebani untuk membantu keluarga kami keluar dari kemiskinan. Itulah mengapa kami memutuskan untuk menikah meskipun kami tahu kami belum siap.”

Sari, yang baru berusia 14 tahun, menambahkan, “Kami ingin membangun masa depan yang lebih baik. Namun, ketidaksiapan kami tidak hanya fisik, tetapi juga mental. Kami harus menghadapi tantangan besar dalam menjalani peran sebagai suami dan istri.”

Namun, tidak semua cerita menemui kesedihan. Desa Parigi Moutong menyajikan cerita haru di mana 35 pasangan memilih menikah pada usia dini demi melanjutkan tradisi keluarga. Ani dan Joko, pasangan berusia 18 tahun, menyatakan bahwa mereka telah mempersiapkan diri dengan matang dan mendapatkan dukungan penuh dari keluarga.

Meskipun demikian, sorotan terhadap masalah ini menjadi semakin mendalam dengan dirilisnya data resmi mengenai pernikahan usia dini di Sulawesi Tengah. Angka yang mencengangkan menunjukkan adanya 238 kasus pernikahan usia dini selama tahun 2023, mencerminkan tingginya tantangan terkait fenomena ini di berbagai daerah di provinsi tersebut.

Pemerintah dan lembaga terkait di Sulawesi Tengah dituntut untuk mengambil tindakan konkret guna meningkatkan pendidikan, kesadaran, dan akses kepada fasilitas kesehatan reproduksi. Hanya melalui penanganan akar masalah, masyarakat dapat membantu melindungi generasi muda dari dampak negatif pernikahan usia dini.

Namun, kisah malam itu tidak berhenti pada pernikahan dini. Data terbaru juga mengungkap peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi Tengah. Sebanyak 215 kasus kekerasan tercatat sepanjang tahun 2023, memerlukan perhatian serius dari pemerintah dan lembaga terkait.

UPT PPA di tingkat provinsi dan UPT PPA Kabupaten Tojo Una-Una menjadi garda terdepan dalam menangani kasus-kasus tersebut. Namun, Patricia Yabi, Kepala UPT PPA Sulawesi Tengah, menyoroti perlunya ekspansi ke lebih banyak kabupaten/kota.

“Masyarakat Sulawesi Tengah harus bersatu dalam menghadapi tantangan ini. Pernikahan usia dini dan kekerasan perempuan tidak hanya memerlukan respons pemerintah, tetapi juga partisipasi aktif dari setiap lapisan masyarakat,” ujar Patricia.

Dengan peningkatan jumlah korban kekerasan perempuan dan anak berdasarkan usia, pendidikan, lokasi kejadian, jenis kelamin, dan hubungan pelaku, pemantauan terus-menerus dan langkah-langkah nyata harus diambil. Hanya melalui upaya bersama, Sulawesi Tengah dapat menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi hak-hak mereka, membuka jalan menuju masa depan yang lebih baik.

 

 

Fraksi Partai Gerindra Mendorong Peningkatan Anggaran Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan

Fraksi Partai Gerindra di DPRD Kabupaten Banggai mengungkapkan keprihatinan mendalam terkait tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di wilayah tersebut selama tahun 2023. Dalam pandangan umum fraksi yang disampaikan saat pengantar nota keuangan rancangan APBD Perubahan tahun 2023/2024 di Kantor DPRD, fraksi ini menyoroti ketidaksesuaian alokasi anggaran pencegahan yang diperuntukkan pada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis.

Menurut Masnawati Muhammad, juru bicara Fraksi Partai Gerindra DPRD Banggai, “Data kekerasan terhadap perempuan dan anak tahun 2023 sungguh sangat memprihatinkan. Namun, setelah kami cermati dokumen pengantar nota keuangan dari Dinas P2KB-P3A, masih sangat minim kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.”

Fraksi ini secara tegas menyampaikan pentingnya peningkatan anggaran untuk kegiatan pencegahan dan penanganan kekerasan, dengan tujuan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan melindungi hak-hak perempuan dan anak. Dalam pertemuan tersebut, anggota legislatif perempuan dari berbagai fraksi bersatu untuk mendesak pemerintah daerah merealisasikan komitmen nyata dalam memberikan dana yang memadai.

“Sektor perempuan di Banggai memerlukan perlindungan dan perhatian yang lebih besar. Kami, sebagai Aleg perempuan, merasa tanggung jawab untuk memastikan bahwa perempuan dan anak di Banggai mendapatkan perlindungan dan perhatian yang layak. Oleh karena itu, kami mendesak pemerintah daerah untuk merealisasikan komitmen nyata dalam memberikan dana yang memadai untuk pencegahan dan penanganan kekerasan,” tegas Masnawati.

Pertemuan Aleg perempuan ini diharapkan dapat menjadi tonggak awal untuk memperkuat program pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kabupaten Banggai. Masyarakat berharap agar upaya kolaboratif antara fraksi-fraksi di DPRD dapat membawa perubahan positif dan melindungi generasi muda dari dampak negatif kekerasan. Fraksi Partai Gerindra bersikeras untuk terus mengawal dan mengadvokasi perubahan nyata guna menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi perempuan di Banggai.