15/05/2025
×
×
Today's Local
15/05/2025
Tutup x

Laut Morowali yang Terkontaminasi Limbah: Nelayan Berjuang di Tengah Kerusakan Ekosistem


MOROWALI, Metroluwuk – Morowali, kabupaten yang dikenal sebagai pusat industri di Sulawesi Tengah, menghadapi ancaman besar terhadap keberlanjutan lingkungannya. Di balik geliat ekonomi yang didorong oleh aktivitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan kawasan industri, ekosistem lautnya perlahan hancur akibat limbah yang mencemari perairan.

Limbah hitam pekat yang dialirkan ke laut di kawasan Bahodopi menjadi pemandangan yang biasa bagi warga pesisir. Dampaknya tak hanya terlihat pada air laut yang berubah warna, tetapi juga pada kehidupan nelayan yang semakin sulit mencari nafkah.

Perjuangan Nelayan di Tengah Limbah

Herman, seorang nelayan berusia 45 tahun dari Desa Bahodopi, adalah saksi hidup dari perubahan drastis yang terjadi di laut Morowali. Ia mengingat bagaimana dulu laut menjadi sumber kehidupan yang melimpah.

“Dulu, cukup melaut beberapa jam saja, hasilnya sudah banyak. Tapi sekarang kami harus pergi lebih jauh, bahkan hingga ke luar wilayah Morowali,” ujar Herman.

Hasil tangkapan ikan Herman menurun drastis. Dalam seminggu, ia hanya mendapatkan setengah dari hasil tangkapannya lima tahun lalu. Sementara itu, biaya operasional meningkat akibat jarak melaut yang semakin jauh.

“Semakin jauh kami melaut, semakin tinggi biaya bensin dan risiko di laut. Kami tidak punya pilihan lain,” tambahnya dengan nada lelah.

Ekosistem Laut yang Rusak

Kerusakan ekosistem laut Morowali tidak terjadi begitu saja. Penelitian Dinas Kelautan dan Perikanan Morowali menunjukkan bahwa limbah PLTU mengandung bahan kimia berbahaya, termasuk logam berat, yang langsung mencemari perairan. Limbah ini merusak terumbu karang, habitat utama ikan dan biota laut lainnya.

Laporan tersebut juga mencatat penurunan populasi ikan di beberapa titik di sekitar Bahodopi. Padahal, kawasan itu sebelumnya menjadi salah satu wilayah penangkapan ikan terbaik di Morowali.

“Terumbu karang itu seperti rumah bagi ikan. Kalau rumahnya hancur, ikan-ikan pun akan pergi atau mati,” jelas seorang ahli kelautan yang terlibat dalam penelitian.

Bagi nelayan seperti Herman, kerusakan ini bukan hanya soal ekosistem, tetapi juga kehidupan. “Laut adalah segalanya bagi kami. Kalau laut rusak, kami mau makan apa?” katanya.

Di tengah tantangan ini, para nelayan dan warga Bahodopi berharap adanya langkah nyata dari pemerintah dan pengelola PLTU untuk memperbaiki kondisi laut. Mereka menuntut pengelolaan limbah yang lebih baik dan program pemulihan ekosistem.

“Limbah-limbah itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Harus ada yang bertanggung jawab. Kami hanya ingin laut kami kembali seperti dulu,” kata Herman.

Nelayan juga berharap pemerintah dapat memberikan solusi jangka panjang, seperti pelatihan kerja di bidang lain atau bantuan untuk meningkatkan hasil tangkapan.

Kerusakan laut Morowali bukan hanya cerita tentang polusi, tetapi juga perjuangan manusia yang hidup bergantung pada alam. Di tengah suara mesin-mesin industri yang terus berdengung, ada jeritan nelayan yang meminta agar laut tetap dipertahankan sebagai warisan masa depan.

“Laut ini bukan hanya milik kami. Laut ini adalah warisan untuk anak-cucu kami. Kalau sekarang rusak, apa yang bisa kami tinggalkan untuk mereka?” tanya Herman dengan suara bergetar.

Harapan itu masih ada. Laut Morowali yang biru dan melimpah pernah menjadi kebanggaan masyarakat. Kini, suara nelayan seperti Herman adalah pengingat bahwa pembangunan harus tetap berpijak pada kelestarian alam dan kesejahteraan semua pihak.