15/05/2025
×
×
Today's Local
15/05/2025
Tutup x

Nelayan Morowali yang Berhenti Melaut: Antara Limbah dan Kehilangan Mata Pencaharian


Di Desa Bahodopi, Kabupaten Morowali, cerita tentang nelayan yang menggantungkan hidup dari laut perlahan berubah. Limbah dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) telah mencemari perairan di sekitar desa, memaksa sebagian nelayan menghentikan aktivitas melaut yang telah menjadi sumber kehidupan mereka selama bertahun-tahun.

Pesisir yang Tak Lagi Ramai

Dahulu, suasana pagi di pesisir Bahodopi selalu ramai dengan nelayan yang bersiap melaut. Namun kini, suasana itu berubah sunyi. Banyak perahu yang berbaris tak terpakai di tepi pantai, lapuk di bawah terik matahari.

“Saya sudah berhenti melaut hampir satu tahun,” ujar Sahar, seorang nelayan yang kini memilih menjadi buruh harian di sebuah proyek bangunan. “Bukan karena saya mau, tapi hasil tangkapan sudah tidak ada. Kalau pun ada, ikannya kecil dan harganya murah.”

Sahar, yang telah menjadi nelayan selama lebih dari 15 tahun, mengaku tak pernah membayangkan harus meninggalkan laut. Namun, pencemaran yang semakin parah membuatnya kehilangan harapan.

“Limbah dari PLTU itu seperti meracuni laut. Airnya berubah warna, banyak ikan yang mati. Kalau terus melaut, saya hanya buang waktu dan uang,” keluhnya.

Limbah yang Mengubah Segalanya

Penelitian Dinas Kelautan dan Perikanan Morowali menunjukkan bahwa limbah cair dari PLTU mengandung zat kimia berbahaya yang merusak ekosistem laut, termasuk terumbu karang yang menjadi habitat utama ikan. Akibatnya, populasi ikan menurun drastis, dan area tangkapan yang biasanya melimpah kini tidak lagi produktif.

“Kami sudah tidak tahu di mana lagi harus mencari ikan. Limbah itu sudah mencemari hampir semua perairan dekat sini,” ujar Sahar.

Selain ikan yang berkurang, Sahar juga mencatat perubahan lain. Jaring yang ia gunakan sering kali penuh dengan lumpur hitam daripada ikan. Kondisi ini membuat peralatan tangkapnya lebih cepat rusak, menambah beban ekonomi yang sudah berat.

Berpindah Profesi, Bertahan Hidup

Seperti Sahar, banyak nelayan di Bahodopi yang terpaksa meninggalkan laut dan mencari pekerjaan lain. Beberapa menjadi buruh di kawasan industri, sementara yang lain mencoba membuka usaha kecil. Namun, peralihan ini tidak mudah.

“Pekerjaan baru ini tidak cukup untuk menggantikan penghasilan dari melaut. Kadang kami hanya dapat uang untuk makan sehari-hari,” ungkap Arif, mantan nelayan yang kini bekerja sebagai tukang ojek.

Bagi mereka, laut bukan sekadar sumber penghidupan, tetapi juga identitas. Kehilangan laut berarti kehilangan bagian penting dari kehidupan mereka.

“Dulu, saya bangga bisa melaut. Sekarang saya hanya bisa melihat laut dari jauh, tapi tidak ada yang bisa saya ambil dari sana,” kata Arif dengan nada sedih.


Harapan yang Tersisa

Di tengah kondisi yang sulit, para mantan nelayan ini berharap ada perubahan. Mereka ingin pihak PLTU bertanggung jawab atas pencemaran dan membantu memulihkan ekosistem laut. Selain itu, mereka juga berharap pemerintah menyediakan pelatihan kerja dan bantuan ekonomi untuk membantu mereka beradaptasi.

“Kami tidak minta banyak. Kami hanya ingin laut kembali sehat, supaya kami bisa melaut lagi dan anak-anak kami tidak perlu hidup seperti ini,” ujar Sahar.

Kisah para nelayan yang berhenti melaut adalah potret nyata dari dampak pencemaran terhadap kehidupan masyarakat. Laut yang dulunya menjadi sumber kehidupan kini menjadi simbol ketidakpastian. Namun, di tengah keterpurukan, mereka masih menyimpan harapan bahwa suatu hari laut akan kembali seperti sedia kala, memberikan kehidupan, bukan menghentikannya.