PT Huabao Industrial Park (IHIP) Tuduh Warga Topogaro dan Tondo Lakukan Perbuatan Melawan Hukum, Tuntut Ganti Rugi Miliar Rupiah

Share This Article
MOROWALI, Metroluwuk – Konflik lahan antara masyarakat Desa Topogaro dan Tondo dengan PT Huabao Industrial Park (IHIP) belum menemui titik terang. Pada 15 Agustus 2024, empat warga dari desa tersebut—Rahman Ladanu, Safaat, Sadam, dan Imran—menerima surat panggilan dari Pengadilan Negeri (PN) Poso. Mereka digugat oleh PT Baoshuo Taman Industri Investment Group (BTIIG), salah satu perusahaan dalam kawasan IHIP, atas tuduhan melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH).
Gugatan tersebut terkait aksi blokade jalan produksi di Desa Topogaro yang dilakukan oleh warga pada Juni 2024. PT BTIIG menuntut ganti rugi sebesar Rp 4,3 miliar lebih, yang dihitung berdasarkan kerugian harian selama tiga hari blokade. Selain itu, perusahaan juga mengajukan tuntutan ganti rugi imaterial sebesar Rp 10 miliar atas dugaan pencemaran nama baik.
Aksi blokade yang dilakukan warga Desa Topogaro merupakan respons atas pernyataan Legal Eksternal PT IHIP, Riski, yang menyatakan bahwa jalan tani yang kini digunakan sebagai jalan hauling adalah milik sah PT IHIP berdasarkan MoU tukar guling aset dengan Bupati Morowali. Pernyataan ini memicu kemarahan warga, yang selama ini menggunakan jalan tani tersebut sebagai akses ke lahan pertanian dan situs budaya Gua Topogaro.
PT BTIIG merespons aksi blokade ini dengan melayangkan somasi pada 10 Juni 2024, dan pada 20 Juni 2024, keempat warga tersebut kembali dipanggil oleh Polda Sulawesi Tengah atas tuduhan mengganggu kegiatan usaha pertambangan, yang diatur dalam Pasal 162 UU No. 3 Tahun 2020.
Konflik ini tidak hanya terjadi di Desa Topogaro dan Tondo. Warga Desa Ambunu juga turut melakukan aksi blokade pada 13-23 Juni 2024 setelah jalan tani mereka diklaim sepihak oleh PT IHIP. Jalan tersebut kini telah digunakan oleh perusahaan, memaksa petani setempat untuk memutar hingga 4 kilometer untuk mencapai kebun mereka. Warga Desa Ambunu sebelumnya hanya menempuh jarak 1-2 kilometer.
Hingga saat ini, PT IHIP belum pernah menunjukkan MoU yang menjadi dasar klaim atas jalan tani tersebut, meskipun telah beberapa kali diminta oleh warga. Sebaliknya, PT BTIIG terus melakukan upaya hukum terhadap warga, termasuk melayangkan somasi, panggilan polisi, dan gugatan perdata.
Wandi, Pengkampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah, menilai tindakan PT IHIP sebagai upaya pembungkaman terhadap warga yang memperjuangkan hak mereka. Ia khawatir bahwa tindakan serupa akan meluas ke desa-desa lain seiring dengan ekspansi kawasan industri.
“Tindakan seperti ini mirip dengan zaman penjajahan. Penggusuran paksa lahan sawit produktif seluas 14 hektar di Desa Ambunu pada Oktober 2022 adalah contoh dari perilaku sewenang-wenang perusahaan,” ujar Wandi.
PT BTIIG adalah perusahaan pengelola smelter nikel di dalam kawasan IHIP, dengan komposisi saham yang didominasi oleh perusahaan asing. Proyek ini merupakan bagian dari inisiatif internasional “One Belt, One Road” dan melibatkan investasi senilai Rp 14 triliun. Kawasan industri ini mencakup wilayah seluas 20.000 hektar yang meliputi Desa Wata, Tondo, Ambunu, Topogaro, Upanga, Larebonu, dan Wosu.
Konflik lahan ini mencerminkan ketegangan antara kepentingan investasi besar dan hak-hak masyarakat lokal di tengah lemahnya kontrol pemerintah atas pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Warga yang berjuang untuk mempertahankan tanah mereka kini harus menghadapi tekanan hukum yang berat dari korporasi besar.