11/10/2025
×
×
Today's Local
11/10/2025
Tutup x

Harmoni Perempuan di Tengah Gempuran Industri: Menjaga Alam, Melawan Kerusakan


Pagi itu, Marni membuka matanya dengan perasaan yang berat. Seperti biasa, ia memulai harinya di Desa Labota, Kecamatan Bungku Selatan, Morowali, Sulawesi Tengah, tempat ia dilahirkan dan dibesarkan. Desa kecil ini pernah menjadi surga kecil bagi Marni dan keluarganya. Namun, pagi itu, bukan suara burung atau gemericik air sungai yang menyambutnya. Yang ada hanya debu-debu halus yang menempel di dedaunan dan bau menyengat dari cerobongcerobong pabrik smelter nikel di kejauhan.

Marni membuka pintu rumah kayunya yang sederhana, memandangi lingkungan sekitar yang semakin asing. Hutan yang dulu hijau lebat kini berubah menjadi lahan gersang dengan bekas-bekas aktivitas tambang yang menyakitkan mata. Di kejauhan, cerobong-cerobong milik perusahaan nikel terus mengepulkan asap hitam yang melayang ke langit, menciptakan selimut kelabu yang menutupi sinar matahari pagi. Udara yang ia hirup setiap hari membawa rasa sesak di dada, meninggalkan rasa perih di tenggorokannya.

Dulu, hidup di Desa Labota begitu sederhana, tetapi penuh kebahagiaan. Sungai-sungai jernih mengalir bebas, memberikan sumber kehidupan bagi warga desa. Marni ingat betul bagaimana ia dan suaminya, Arman, dulu mencuci pakaian sambil bercanda dengan anak-anak mereka di tepian sungai. Sungai itu juga menjadi tempat mereka mencari ikan untuk makan sehari-hari. Namun kini, sungai tersebut telah berubah menjadi aliran air yang keruh dengan bau tak sedap akibat limbah tambang.

Marni berjalan ke kebunnya yang terletak di belakang rumah. Kebun itu dulu menjadi sumber pangan utama keluarganya. Ia menanam berbagai jenis sayuran seperti cabai, singkong, dan terong. Namun, sejak aktivitas tambang semakin masif, tanah di kebunnya tak lagi subur. Debu-debu dari kawasan industri mengendap di tanah, merusak tanaman yang ia rawat dengan susah payah. “Dulu panen kami cukup untuk makan bahkan dijual di pasar, tapi sekarang tanaman layu sebelum sempat tumbuh besar,” kata Marni dengan nada putus asa.

Suaminya, Arman, kini bekerja sebagai buruh di salah satu pabrik smelter nikel. Pekerjaan itu seolah menjadi satusatunya pilihan untuk bertahan hidup, meskipun risikonya besar. Setiap malam, Arman sering mengeluh pusing dan sesak napas akibat paparan debu dan asap dari pabrik.

Namun, ia tidak memiliki pilihan lain. “Kalau saya berhenti, kita makan apa?” kata Arman setiap kali Marni memintanya untuk istirahat. Marni hanya bisa menguatkan hati, meski ia tahu kesehatan suaminya semakin memburuk.

Desa Labota kini kehilangan wajah aslinya. Hutan yang dulu menjadi tempat warga mencari kayu bakar, rotan, dan bahan pangan lain telah berubah menjadi area tambang yang dikuasai oleh perusahaan besar. Bagi perempuan seperti Marni, dampaknya terasa begitu berat. Ia tak hanya kehilangan alam yang menjadi sumber kehidupannya, tetapi juga tradisi dan nilai-nilai yang ia wariskan kepada anakanaknya. Marni dan para perempuan di desa ini adalah penjaga kehidupan—mereka yang merawat keluarga sekaligus menjaga tradisi. Namun, polusi dan kerusakan lingkungan perlahan merampas semua itu dari mereka.

Salah satu tradisi yang paling dirindukan Marni adalah ritual adat yang biasa dilakukan di hutan-hutan suci. Dulu, ia bersama warga desa sering melaksanakan upacara di hutan sebagai bentuk penghormatan kepada alam. Namun kini, tempat-tempat sakral itu telah dirusak oleh aktivitas tambang. “Kami bukan hanya kehilangan tanah, tapi juga kehilangan jati diri kami,” ucap Marni dengan mata berkacakaca.

Namun, meskipun berat, Marni dan perempuan-perempuan lainnya tidak menyerah. Mereka mulai berkumpul dan membentuk kelompok kecil untuk memperjuangkan hak mereka. Dengan suara lirih namun penuh keteguhan, mereka menuntut agar perusahaan tambang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi. Perjuangan ini bukan tanpa risiko. Beberapa dari mereka pernah mengalami intimidasi dari pihak-pihak tertentu. Namun, Marni percaya bahwa suara mereka harus didengar. “Kami hanya ingin hak kami dikembalikan. Kami ingin alam kami kembali seperti dulu,” katanya tegas.

Pagi itu, sambil memandang cerobong-cerobong pabrik yang terus mengepulkan asap, Marni merasa getir. Ia tahu hidup di Desa Labota tak akan pernah sama lagi. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus bertahan dan terus berjuang. Untuk desanya, untuk keluarganya, dan untuk masa depan anak-anaknya. Di tengah kabut dan debu yang menyelimuti desa, ia menyimpan harapan kecil bahwa suatu hari nanti langit di atas Desa Labota akan kembali cerah, dan kehidupan akan kembali seperti dulu. Dengan langkah mantap, Marni menutup pintu rumahnya dan bersiap menghadapi hari yang penuh tantangan. Bagi Marni, menyerah bukanlah pilihan.

Kisah Masyarakat Adat Tau Ta’a: Antara Tradisi yang Terkikis dan Perjuangan yang Tak Padam Foto : Jabar Lahadji

Penjaga Harmoni Hutan di Pegunungan Tokala

Suku Wana, yang juga dikenal sebagai Tau Taa Wana atau Orang Taa, merupakan masyarakat adat yang mendiami kawasan hutan di Pegunungan Tokala, Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Hidup mereka terikat erat dengan alam, menjadikan hutan sebagai tempat tinggal, sumber penghidupan, dan ruang sakral bagi tradisi yang diwariskan secara turun-temurun.

Menurut Jabar Lahadji, seorang pemerhati sosial dan lingkungan hidup, sebagai komunitas yang hidup jauh dari hiruk-pikuk modernitas, Tau Taa Wana menjaga hubungan harmonis dengan lingkungan mereka. Hutan tidak hanya memberikan kebutuhan pokok seperti makanan, air, dan bahan untuk tempat tinggal, tetapi juga menjadi bagian integral dari kepercayaan dan budaya mereka.

“Mereka hidup dari hutan dengan bijaksana, mengambil secukupnya, dan selalu memastikan keberlanjutan alam untuk generasi berikutnya,” ujar Jabar Lahadji pemerhati adat di wilayah tersebut.

Kehidupan Tau Taa Wana sangat dipengaruhi oleh tradisi dan kepercayaan lokal. Salah satu ritual adat yang masih lestari adalah Pomata, sebuah upacara kematian yang sarat makna spiritual. Dalam ritual ini, keluarga dan kerabat berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir kepada orang yang telah meninggal. Barang-barang kesayangan almarhum dimakamkan bersama, dan setelah ritual selesai, kuburan dibiarkan menyatu dengan alam tanpa perawatan lebih lanjut.

Suku Wana juga dikenal berpindah-pindah tempat tinggal. Perpindahan ini bukan hanya mengikuti rotasi lahan untuk berkebun, tetapi juga sebagai bagian dari tradisi mereka untuk meninggalkan lokasi yang dianggap membawa kesedihan setelah kematian anggota keluarga.

Meski menghadapi tantangan dari dunia luar, kehidupan Tau Taa Wana tetap relatif lestari. Letak permukiman mereka yang jauh dari akses masyarakat luar membuat mereka mampu menjaga tradisi dan kawasan konservasi di sekitar hutan Pegunungan Tokala. Keberadaan mereka menjadi contoh nyata bagaimana kehidupan adat yang berlandaskan kearifan lokal dapat hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya.

Hingga saat ini, Suku Wana terus menjadi penjaga hutan yang tangguh, mewariskan nilai-nilai pelestarian lingkungan dan budaya kepada generasi muda mereka. Kisah mereka adalah bukti bahwa kehidupan yang harmonis dengan alam masih bisa dijaga di tengah derasnya arus modernisasi.

Rukmini Tahoke, Tokoh Perempuan Adat Sulawesi Tengah

Perjuangan Perempuan Adat di Sulawesi Tengah Dampak Lingkungan dan Sosial dari Aktivitas Industri Nikel

Di tengah pesatnya industri nikel yang berkembang di Sulawesi Tengah, perjuangan perempuan adat di kawasan ini semakin berat. Perempuan-perempuan ini tidak hanya berhadapan dengan dampak lingkungan yang merusak, tetapi juga dengan ketidakadilan sosial yang menambah beban mereka dalam mempertahankan kehidupan sehari-hari. Rukmini Tahoke, seorang tokoh perempuan adat yang sangat peduli terhadap isu lingkungan, mengungkapkan keprihatinannya terhadap dampak buruk yang ditimbulkan oleh aktivitas industri, khususnya PLTU dan pertambangan nikel. “Polusi udara dan pencemaran air yang terjadi akibat PLTU dan aktivitas tambang nikel telah merusak sumbersumber kehidupan perempuan adat di sini,” ungkap Rukmini dengan penuh kegelisahan.

BACA  Petani Adukan PT KLS ke ATR/BPN, Tuntut Penghentian Perpanjangan HGU

Di Desa Towara, salah satu desa yang terletak di dekat kawasan industri nikel, polusi yang ditimbulkan oleh PLTU Captive yang dimiliki oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) sudah dirasakan langsung oleh masyarakat, terutama perempuan. Sebelumnya, mereka bergantung pada sumber daya alam yang tersedia, seperti mata air dan tanah subur untuk bertani. Namun kini, sumber-sumber kehidupan mereka terancam akibat polusi yang disebabkan oleh aktivitas industri yang kian marak. Banyak perempuan di desa ini yang kehilangan mata pencaharian mereka sebagai petani dan nelayan. “Sumber penghidupan kami hilang. Kami tidak bisa bertani lagi, karena tanah sudah tercemar. Bahkan untuk mencari air bersih pun kini semakin sulit,” kata Rukmini.

Untuk bertahan hidup, banyak perempuan yang terpaksa meminjam uang dari koperasi, sebuah solusi sementara yang justru menambah beban ekonomi mereka. Rukmini menegaskan bahwa masalah ini semakin memperburuk situasi ekonomi perempuan adat. “Polusi udara, pencemaran air, dan hilangnya akses terhadap sumber daya alam membuat banyak perempuan terperangkap dalam kemiskinan,” kata Rukmini. “Mereka tidak hanya kehilangan mata pencaharian, tetapi juga hak mereka atas lingkungan yang sehat.”

Tak hanya itu, dampak dari pencemaran yang terjadi juga mulai dirasakan dalam bentuk penyakit. Di Desa Tanauge, beberapa perempuan dan anak-anak mulai mengalami gatalgatal dan sesak napas, gejala yang sebelumnya tidak pernah mereka alami. “Kami tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya,” ujar seorang ibu dari Desa Tanauge. “Anak-anak saya mulai batuk dan sesak napas setelah udara tercemar debu dari PLTU.” Penyakit-penyakit ini semakin memperburuk kualitas hidup perempuan adat yang sudah terjebak dalam kesulitan ekonomi. Mereka harus menghadapi beban kesehatan yang semakin berat, sementara tidak ada akses yang memadai untuk perawatan medis.

Selain masalah kesehatan, perempuan di kawasan ini juga harus berhadapan dengan masalah sosial. Beberapa perempuan yang terlibat dalam aksi protes terhadap perusahaan dan pemerintah bahkan sempat dikriminalisasi. Namun, masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi oleh Komnas HAM Provinsi Sulawesi Tengah. Meski begitu, hal ini menunjukkan betapa sulitnya bagi perempuan untuk menyuarakan perjuangan mereka tanpa mendapat tekanan dari berbagai pihak.

Rukmini juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kebijakan pemerintah daerah yang dinilai belum cukup responsif terhadap masalah lingkungan yang mereka hadapi. “Pemerintah sering kali hanya memberikan janji-janji kosong, tetapi tidak ada tindakan konkret yang dilakukan untuk mengatasi pencemaran dan kerusakan lingkungan,” ujarnya. Rukmini menambahkan bahwa perempuan adat sangat membutuhkan kebijakan perlindungan lingkungan yang jelas dan tegas. “Pemerintah daerah harus segera memperkuat kebijakan perlindungan lingkungan dan hak-hak perempuan. Mata air dan sungai yang sudah tercemar harus mendapatkan perhatian serius, karena ini langsung berhubungan dengan keberlanjutan hidup kami,” katanya.

Selain itu, masalah lain yang semakin memperburuk situasi adalah hilangnya akses perempuan terhadap sumber daya alam yang sangat vital bagi kehidupan mereka. Sungai dan mata air yang sebelumnya menjadi sumber utama air bersih kini tercemar oleh limbah tambang. Rukmini menekankan bahwa hal ini menjadi masalah serius bagi perempuan yang lebih banyak bergantung pada air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk untuk keperluan rumah tangga dan kesehatan. “Sumber air yang kami andalkan telah tercemar. Di beberapa desa, perempuan harus berjalan jauh untuk mendapatkan air bersih. Ini bukan hanya soal kualitas hidup, tapi juga tentang kesehatan reproduksi perempuan yang semakin terancam,” kata Rukmini.

Dalam kondisi yang semakin sulit, perempuan adat di Sulawesi Tengah terus berjuang untuk mendapatkan keadilan. Rukmini menegaskan bahwa perempuan adat memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan dan pelestarian sumber daya alam. Meskipun mereka sering kali dianggap sebagai pihak yang paling rentan, perempuan adat justru dapat menjadi agen perubahan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Namun, tantangan terbesar adalah memastikan bahwa suara perempuan didengar dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan dan kebijakan pemerintah. “Pemerintah dan perusahaan harus mendengarkan suara perempuan adat. Kami bukan hanya korban, tapi kami juga memiliki solusi untuk menjaga keberlanjutan lingkungan dan meningkatkan ekonomi lokal melalui usaha yang ramah lingkungan,” kata Rukmini.

Namun, harapan untuk masa depan yang lebih baik tetap ada. Rukmini dan masyarakat adat lainnya berharap agar pemerintah dan perusahaan tambang serta PLTU yang beroperasi di kawasan ini memperhatikan kondisi mereka dan segera mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah pencemaran dan kerusakan lingkungan. “Masa depan kami terancam jika kondisi ini terus dibiarkan. Kami berharap ada perubahan nyata untuk melindungi lingkungan kami dan hak-hak perempuan adat yang selama ini terabaikan,” ujar Rukmini.

Untuk itu, Rukmini dan para perempuan adat berharap agar pemerintah lebih tegas dalam menindak perusahaanperusahaan yang merusak lingkungan. Mereka meminta agar perusahaan-perusahaan yang merusak alam diberi sanksi yang tegas dan diminta untuk melakukan pemulihan lingkungan. Mereka juga menginginkan agar PLTU Captive yang beroperasi di kawasan industri dihentikan sementara untuk mengurangi dampak polusi udara yang semakin memburuk. “Kami ingin agar tambang-tambang yang merusak lingkungan dihentikan sementara, dan limbah-limbah yang dibuang oleh perusahaan-perusahaan ini dihentikan,” kata Rukmini dengan penuh harap.

Bagi perempuan adat di Sulawesi Tengah, perjuangan mereka bukan hanya untuk hari ini, tetapi juga untuk masa depan yang lebih baik bagi anak-anak mereka. Mereka ingin memastikan bahwa generasi mendatang dapat hidup dalam lingkungan yang sehat, dengan akses terhadap air bersih, udara yang segar, dan sumber daya alam yang lestari. Perempuan adat di Sulawesi Tengah, dengan segala perjuangannya, terus memperjuangkan hak-hak mereka untuk lingkungan yang lebih baik, dan hak-hak mereka sebagai perempuan yang sering kali terabaikan dalam proses pembangunan. Harapan mereka adalah agar pemerintah dan perusahaan tambang mendengar dan memahami bahwa lingkungan yang sehat adalah hak setiap orang, terutama perempuan yang menjadi penjaga utama sumber daya alam di tanah leluhur mereka.

Stevi Rasinta Papuling, aktivis yang memperjuangkan hak-hak lingkungan dan perempuan di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara. Di tengah perjuangannya, ia terus berjuang untuk masa depan yang lebih baik, menjaga alam dan memperjuangkan hak perempuan yang terdampak oleh kerusakan lingkungan akibat pertambangan.”

Perjuangan Perempuan Pembela HAM di Morowali dan Morowali Utara

Stevi Rasinta Papuling adalah seorang aktivis lingkungan yang sangat peduli terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh pertambangan, terutama di Kabupaten Morowali dan Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Sebagai aktivis yang mendampingi perempuan-perempuan pembela HAM di wilayah tersebut, Stevi telah menyaksikan secara langsung dampak negatif yang ditimbulkan oleh polusi dan kerusakan alam terhadap kehidupan perempuan. Perempuan di daerah ini, yang biasanya menjadi tulang punggung keluarga dan pengelola utama sumber daya alam lokal, telah menghadapi tantangan besar yang semakin memberatkan mereka.

Menurut Stevi, polusi dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan aktivitas pertambangan telah merusak sumbersumber kehidupan yang sangat vital bagi perempuan, terutama yang tinggal di desa-desa sekitar kawasan industri. Sebagai contoh, di Desa Towara, banyak perempuan kehilangan sumber penghidupannya yang sebelumnya bergantung pada pertanian dan hasil alam seperti ikan dan tanaman. Tanah yang dulu subur kini tercemar, sementara air yang digunakan untuk kehidupan sehari-hari sudah tidak lagi bersih dan aman. Akibatnya, perempuan di desa tersebut harus mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka, seperti dengan meminjam uang ke koperasi. Sayangnya, situasi ini justru memperburuk keadaan ekonomi mereka, karena semakin banyak perempuan yang terjebak dalam utang yang tidak bisa mereka bayar. Hal ini merupakan masalah yang tak terdata oleh pemerintah dan semakin memperburuk kondisi sosial dan ekonomi perempuan di sana.

BACA  Ketua Adat Masama Mengecam Rencana Perluasan Jety PT. Empros Jaya

“Polusi udara dan air yang disebabkan oleh PLTU dan aktivitas pertambangan ini semakin memperburuk kualitas hidup perempuan. Bukan hanya soal sumber penghidupan yang hilang, tapi juga kesehatan yang semakin memburuk,” kata Stevi dengan nada prihatin. Sebagai bukti, beberapa perempuan dan anak-anak di Desa Tanauge mengalami masalah kulit seperti gatal-gatal yang sebelumnya tidak mereka rasakan. Kondisi ini dipicu oleh paparan polusi yang terus menerus dari aktivitas industri yang ada di sekitar mereka.

Tak hanya itu, Stevi juga menyoroti peran perempuan yang sering terpinggirkan dalam perjuangan mereka untuk mempertahankan hak-hak mereka atas lingkungan yang sehat. Beberapa perempuan yang terlibat dalam aksi menuntut perbaikan lingkungan bahkan sempat dikriminalisasi. Namun, berkat mediasi dari KOMNAS HAM Provinsi, kasus tersebut tidak berlanjut. Meskipun demikian, Stevi menilai bahwa meski aksi mereka tidak berujung pada proses hukum yang panjang, krisis yang dihadapi oleh perempuan tetap nyata dan perlu mendapat perhatian lebih besar dari pemerintah.

Lebih jauh, Stevi juga menyoroti dampak buruk dari pencemaran sumber daya alam yang terjadi akibat pertambangan nikel dan pasir di kawasan tersebut. Dua Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang ada kini telah memasuki kawasan yang sebelumnya menjadi sumber mata air bagi masyarakat. Pencemaran ini menyebabkan mata air tercemar, yang pada gilirannya memperburuk kondisi perempuan, khususnya terkait dengan kesehatan reproduksi mereka yang sangat bergantung pada ketersediaan air bersih. “Kebutuhan akan air bersih ini sangat penting bagi perempuan, apalagi untuk kesehatan reproduksi mereka. Semakin sulit akses terhadap air bersih, semakin terancam pula kualitas hidup perempuan,” ujarnya.

Tak hanya itu, Stevi juga mengkritik kebijakan pemerintah daerah yang dianggap tidak memadai dalam menangani dampak kerusakan lingkungan. Meskipun pemerintah daerah menawarkan dana untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) kepada masyarakat yang terdampak, hal tersebut dinilai tidak akan cukup untuk menyelesaikan masalah mendasar yang dihadapi perempuan. “Dana UMKM yang ditawarkan oleh pemerintah itu tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang lebih besar, yaitu hilangnya sumber penghidupan mereka. Tanpa adanya program yang memperbaiki kondisi lingkungan dan menjamin keberlanjutan sumber daya alam, usaha tersebut akan siasia,” tutur Stevi.

Sebagai aktivis yang juga bekerja untuk menjaga kesehatan masyarakat, Stevi mengungkapkan bahwa debu yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan dan PLTU menjadi masalah besar lainnya. Meskipun perusahaan yang terlibat dalam proyek-proyek tersebut mengklaim telah melakukan penanganan dengan menyiram jalan, debu yang berterbangan di udara tetap menjadi ancaman kesehatan yang sangat serius. Masyarakat, terutama perempuan dan anak-anak, terpaksa menutup ventilasi rumah mereka dengan plastik demi menghindari debu yang masuk. Ini adalah kenyataan pahit yang harus mereka hadapi setiap hari. “Data ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) di daerah ini sangat tinggi, terutama dari tahun 2022 hingga 2024. Ini membuktikan bahwa penanganan yang dilakukan oleh perusahaan belum cukup efektif,” kata Stevi dengan nada kecewa.

Bagi Stevi, perempuan di Morowali dan Morowali Utara memainkan peran yang sangat penting dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Mereka adalah aktor utama dalam mengelola sumber daya alam lokal yang telah lama mereka pelihara. Perempuan memiliki pengetahuan dan keterampilan yang sangat berharga dalam menjaga keberlanjutan alam sekitar. Oleh karena itu, Stevi berpendapat bahwa perempuan harus dilibatkan lebih aktif dalam setiap kebijakan yang berhubungan dengan sumber daya alam. “Perempuan memiliki potensi besar dalam mengelola lingkungan dan mengembangkan ekonomi lokal dengan cara yang berkelanjutan. Namun, kebijakan pemerintah yang tidak mendukung mereka justru semakin memperburuk keadaan,” ungkap Stevi.

Dalam pandangannya, pemerintah harus lebih tegas dalam melindungi hak-hak perempuan dan lingkungan. Stevi menginginkan agar pemerintah memberi sanksi kepada perusahaan-perusahaan yang terbukti merusak lingkungan dan mempengaruhi kualitas hidup masyarakat. Ia juga berharap agar penggunaan PLTU Captive yang banyak berkontribusi pada pencemaran udara dihentikan sementara, sampai ada jaminan bahwa perusahaan tersebut benar-benar bertanggung jawab dalam mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Selain itu, Stevi juga menuntut agar tambang-tambang yang merusak lingkungan dihentikan operasionalnya dan kawasan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat tidak lagi dirusak.

“Pemerintah harus tegas terhadap perusahaan yang merusak lingkungan, termasuk yang ada di Morowali. Jangan sampai investasi yang masuk justru merusak tatanan kehidupan masyarakat dan mengancam hak-hak perempuan untuk hidup dalam lingkungan yang sehat dan aman,” pungkas Stevi.

Dengan harapan agar kawasan yang masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat tidak rusak lebih lanjut, Stevi menekankan pentingnya pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan pemulihan lingkungan yang telah tercemar. Ke depannya, perempuan harus diberdayakan untuk terlibat dalam pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam agar dapat menciptakan masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Polusi PLTU captive hancurkan lingkungan dan kehidupan warga. Walhi desak penegakan hukum dan pemulihan hak masyarakat. Foto : Walhi Sulawesi Tengah

Dampak Negatif Operasi IMIP Terhadap Masyarakat Desa Labota: Protes dan Aksi Warga yang Tak Kunjung Usai

PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) telah menjadi salah satu kawasan industri nikel terbesar di Sulawesi Tengah, dengan luas area mencapai 4.000 hektare yang mencakup dua desa utama, yakni Desa Fatuvia dan Labota di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali. Namun, kehadiran industri ini tidak tanpa kontroversi. Sejak mulai beroperasi pada 2013, masyarakat sekitar, terutama warga Desa Labota, terus menghadapi dampak lingkungan yang semakin parah akibat aktivitas industri nikel yang dilakukan oleh PT IMIP dan berbagai perusahaan terkait.

Menurut Wandi, yang merupakan bagian dari Departemen Advokasi dan Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulteng, aksi protes warga Labota terhadap PT IMIP merupakan yang ketiga kalinya, dengan sebelumnya warga menggelar aksi di terminal khusus (jetty) PT IMIP dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive di Desa Labota. Protes ini merupakan puncak kemarahan warga atas kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas industri di kawasan IMIP.

Salah satu keluhan utama yang disampaikan warga Labota adalah dampak dari PLTU captive yang dibangun oleh PT IMIP. Setiap hari, warga harus menghirup abu batu bara yang dihasilkan oleh pembangkit listrik tersebut. PT IMIP sendiri memiliki 20 unit PLTU captive, dengan 16 unit di antaranya beroperasi dengan kapasitas total 2.970 MW dan 4 unit lainnya sedang dalam tahap konstruksi dengan kapasitas tambahan 2.600 MW. Warga mengeluhkan bahwa debu batu bara yang tersebar akibat aktivitas pembangkit ini sangat mengganggu kualitas udara dan kesehatan mereka, terutama karena cerobong asap PLTU dibangun sangat dekat dengan pemukiman warga, bahkan hanya sekitar 100-200 meter dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) dan Madrasah Tsanawiyah (MTS)

Aljariyah di Desa Labota. Akibatnya, suara bising dan debu batu bara sering memasuki ruang kelas, mengganggu proses belajar mengajar.

BACA  Dewan Banggai Agendakan Tinjau Areal Terdampak Aktivitas PT KFM

Selain dampak dari PLTU, warga Labota juga harus menghadapi debu jalan yang diakibatkan oleh lalu-lalang mobil perusahaan. Mobil-mobil ini membawa material tambang dan peralatan industri lainnya yang melintas di jalan-jalan desa, memperburuk kondisi jalan yang sudah rusak. Selain itu, reklamasi yang dilakukan oleh PT IMIP juga mengganggu aktivitas nelayan yang mengandalkan kawasan sekitar terminal (jetty) untuk mencari ikan. Pembuangan limbah ke laut oleh perusahaan semakin memperburuk kondisi lingkungan, sementara suara bising dari conveyor yang sangat dekat dengan pemukiman warga turut mengganggu ketenangan mereka.

PT IMIP, yang merupakan kawasan industri nikel terbesar di kawasan ini, telah beroperasi sejak 2013 dan terus memberikan dampak negatif yang sangat signifikan bagi masyarakat Desa Labota dan Fatuvia. Meskipun dampak negatif ini sudah berlangsung hampir satu dekade, perusahaan seolah tidak memperhatikan keluhan warga. Bahkan, PT IMIP belum menunjukkan upaya nyata untuk mengatasi kerusakan yang ditimbulkan oleh aktivitas industrinya. Warga merasa bahwa perusahaan ini hanya fokus pada keuntungan ekonomi tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Wandi menambahkan bahwa cerobong asap PLTU captive milik PT IMIP dibangun terlalu dekat dengan pemukiman warga, yang berpotensi mengganggu kesehatan dan kenyamanan mereka. Aktivitas PLTU yang menghasilkan polusi udara dan suara bising tidak hanya mengancam kualitas hidup warga, tetapi juga mengganggu kegiatan belajar di sekolah-sekolah yang terletak di dekat lokasi tersebut. Kualitas udara yang tercemar dengan abu batu bara telah menjadi masalah serius bagi kesehatan anak-anak yang sedang menjalani proses belajar mengajar.

Selain itu, PT IMIP juga dianggap tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap masyarakat lokal dalam hal perbaikan infrastruktur dan kesejahteraan sosial. Masyarakat merasa bahwa mereka telah dibebani dengan berbagai kerugian lingkungan, namun tidak mendapatkan kompensasi yang sebanding. Warga juga mengeluhkan adanya ketimpangan dalam distribusi manfaat dari keberadaan perusahaan. Meskipun PT IMIP menghasilkan nikel dengan kualitas tinggi dan menyumbang pada perekonomian nasional, dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan jauh lebih besar.

Selama hampir satu dekade beroperasi, PT IMIP telah menjadi salah satu proyek unggulan dalam program hilirisasi industri pemerintah. Hasil produksi dari IMIP kini mendominasi pasar nikel global dan menjadikannya salah satu perusahaan terbesar di kawasan Asia. Namun, meskipun perusahaan ini mencapai kesuksesan di pasar internasional, dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal sangat merugikan. Warga Desa Labota dan Fatuvia merasa bahwa hasil yang didapatkan perusahaan tidak sebanding dengan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka sebagai masyarakat yang terkena dampak langsung dari operasional industri ini.

Warga terus mengharapkan adanya perubahan dalam cara perusahaan mengelola dampak lingkungan dan sosial. Mereka mendesak PT IMIP untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat sekitar dan mengedepankan prinsip keberlanjutan yang tidak hanya menguntungkan perusahaan, tetapi juga menjaga kesejahteraan masyarakat lokal dan kelestarian lingkungan. Pemerintah juga diharapkan untuk lebih tegas dalam mengawasi perusahaan besar seperti PT IMIP agar tidak ada lagi penindasan terhadap masyarakat yang sudah cukup lama menderita akibat dampak operasional industri nikel ini.

Dalam menghadapi situasi ini, Wandi dari Walhi Sulteng menekankan pentingnya adanya transparansi dari PT IMIP terkait dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Masyarakat tidak hanya berjuang untuk hak atas lingkungan yang sehat, tetapi juga untuk mendapatkan keadilan atas kerugian yang telah mereka alami selama bertahun-tahun. Jika perusahaan dan pemerintah tidak segera menanggapi keluhan ini dengan serius, dikhawatirkan konflik sosial akan semakin meluas dan berdampak pada stabilitas di kawasan tersebut.

Foto Walhi Sulawesi Tengah


PT IMIP Berkomitmen Tingkatkan Kepedulian Lingkungan dengan Diversifikasi Energi

PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terus berupaya memberikan perhatian dan dukungan terhadap permasalahan lingkungan, baik yang terjadi di dalam maupun di luar kawasan industri. Dalam rangka mendukung transisi energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, perusahaan ini telah mengimplementasikan berbagai teknologi dan program untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul dari kegiatan industri, sambil tetap menjaga komitmen untuk berkontribusi terhadap ekonomi lokal dan nasional.

Dedy Kurniawan, Media Relations Manager PT IMIP, menjelaskan bahwa perusahaan telah berkomitmen untuk menggunakan berbagai sumber energi yang ramah lingkungan untuk memenuhi kebutuhan listrik di kawasan industri. Salah satu langkah besar yang dilakukan adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas 200 MW di area seluas 224,73 hektare di kawasan IMIP. Pembangunan PLTS ini merupakan bagian dari upaya untuk mendiversifikasi sumber energi yang digunakan di kawasan industri dan mengurangi ketergantungan pada energi fosil, yang memiliki dampak besar terhadap lingkungan.

“Komitmen kami terhadap keberlanjutan dan pelestarian lingkungan terus kami wujudkan melalui berbagai program dan teknologi yang ramah lingkungan. Penggunaan sumber energi terbarukan seperti tenaga surya adalah langkah nyata yang kami lakukan untuk mendukung transisi energi menuju masa depan yang lebih bersih dan hijau. Pembangunan PLTS di kawasan IMIP adalah upaya konkret kami untuk mendukung program pemerintah dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dari aktivitas industri,” ujar Dedy dalam keterangannya yang diterima pada Minggu (22/12) pukul 21.04 WITA.

Selain PLTS, PT IMIP juga sedang melaksanakan transisi energi melalui penggunaan tenaga gas (PLTG), yang lebih efisien dan ramah lingkungan dibandingkan dengan pembangkit berbasis batu bara. Salah satu tenant di kawasan IMIP juga telah mengembangkan fasilitas PLTU Gas Buang, yang memanfaatkan sisa gas dari proses produksi untuk menghasilkan energi listrik tambahan. Inovasi-inovasi ini bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung keberlanjutan industri di kawasan tersebut.

“PLTG dan PLTU Gas Buang yang kami gunakan adalah contoh bagaimana teknologi dapat digunakan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara lebih efisien, dengan dampak lingkungan yang lebih rendah. Kami berupaya untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk polusi udara, serta meningkatkan efisiensi energi dalam proses produksi kami,” lanjut Dedy.

Program-program ini juga diharapkan dapat membantu mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat sekitar, seperti polusi udara dan suara, yang seringkali menjadi keluhan utama dari warga sekitar kawasan industri. Dengan berbagai upaya tersebut, PT IMIP berharap dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pembangunan yang berkelanjutan di Sulawesi Tengah, khususnya di Kabupaten Morowali, sambil tetap menjaga hubungan yang baik dengan masyarakat setempat dan mempertahankan keseimbangan antara industri dan lingkungan.

Lebih lanjut, Dedy menegaskan bahwa PT IMIP tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi, tetapi juga pada pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab. Perusahaan terus berupaya untuk menjaga keseimbangan antara kegiatan industri dan keberlanjutan lingkungan, serta memperhatikan kesejahteraan masyarakat yang berada di sekitar kawasan industri. “Kami akan terus berinovasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai keberlanjutan yang dapat bermanfaat bagi semua pihak, baik perusahaan, masyarakat, maupun lingkungan,” tutup Dedy.

Dalam menjalankan operasionalnya, PT IMIP juga terus meningkatkan upaya pengelolaan dampak lingkungan melalui program pemantauan kualitas udara, air, dan tanah, serta melakukan upaya mitigasi terhadap polusi yang mungkin timbul akibat aktivitas industri. Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan tidak hanya berperan dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung pertumbuhan ekonomi, tetapi juga berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup di Sulawesi Tengah.

Dengan komitmen ini, PT IMIP berharap dapat menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan lainnya dalam hal pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab, serta berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

 

 

 

 

 

 

 

 


You cannot copy content of this page